Kerisologi
Apa Itu Keris?
Sebelum membahas masalah keris dan budayanya, sebaiknya ditentukan
dahulu batasan-batasan mengenai apa yang disebut keris.
Hal ini perlu karena
dalam masyarakat sering dijumpai pengertian yang keliru dan kerancuan mengenai
apa yang disebut keris.Saya berpendapat, sebuah benda dapat digolongkan sebagai
keris bilamana benda itu memenuhi kriteria berikut:
1. Keris harus terdiri dari dua bagian utama, yakni bagian bilah keris (termasuk pesi) dan bagian
ganja. Bagian bilah dan pesi melambangkan ujud lingga, sedangkan bagian ganja
melambangkan ujud yoni. Dalam
falsafah Jawa, yang bisa dikatakan sama dengan falsafah Hindu, persatuan antara
lingga dan yoni merupakan perlambang
akan harapan atas kesuburan, keabadian (kelestarian), dan kekuatan.
2. Bilah keris harus selalu membuat sudut tertentu terhadap ganja.
Bukan tegak lurus. Kedudukan bilah keris yang miring atau condong,ini adalah perlambang dari sifat orang Jawa, dan juga
suku bangsa Indonesia lainnya, bahwa seseorang, apa pun pangkat dan
kedudukannya, harus senantiasa tunduk dan hormat bukan saja pada Sang Pencipta,
juga pada sesamanya. Ilmu padi, kata pepatah, makin berilmu seseorang, makin
tunduklah orang itu.
3. Ukuran panjang bilah keris yang lazim adalah antara 33 - 38 cm.
Beberapa keris luar Jawa bisa mencapai 58 cm, bahkan keris buatan Filipina
Selatan, panjangnya ada yang mencapai 64 cm. Yang terpendek adalah keris Buda
dan keris buatan Nyi Sombro Pajajaran, yakni
hanya sekitar 16 - 18 cm saja.Tetapi keris yang dibuat orang amat kecil dan
pendek, misalnya hanya 12 cm, atau bahkan ada yang lebih kecil dari ukuran
fullpen, tidak dapat digolongkan sebagai keris, melainkan semacam jimat
berbentuk keris-kerisan.
4. Keris yang baik harus dibuat dan ditempa dari tiga macam
logam,- minimal dua, yakni besi, baja dan bahan pamor. Pada keris-keris tua,
semisal keris Buda, tidak menggunakan baja.
Dengan demikian, keris yang dibuat dari kuningan, seng, dan bahan logam lainnya, tidak dapat
digolongkan sebagai keris. Begitu juga "keris" yang dibuat bukan
dengan cara ditempa, melainkan dicor, atau yang dibuat dari guntingan drum
bekas aspal tergolong bukan keris, melainkan hanya keris-kerisan. Meskipun
masih ada beberapa kriteria lain untuk bisa mengatakan sebuah benda adalah
keris, empat ketentuan di atas itulah yang terpenting.Keris Budaya Nusantara Thailand,
Filipina, Kamboja, dan Brunei Darussalam. Jadi, boleh dikatakan budaya keris
dapat dijumpai di semua daerah bekas wilayah kekuasan dan wilayah yang
dipengaruhi Kerajaan Majapahit. Itulah sebabnya beberapa ahli budaya
menyebutkan, keris adalah budaya Nusantara. Keris tertua dibuat di Pulau Jawa,
diduga sekitar abad ke-6 atau ke-7. Di kalangan penggemarnya, keris buatan masa
itu disebut keris Buda.Sesuai dengan kedudukannya sebagai sebuah karya awal
sebuah budaya, bentuknya masih sederhana. Tetapi bahan besinya menurut ukuran
zamannya, tergolong pilihan, dan cara pembuatannya diperkirakan tidak jauh
berbeda dengan cara pembuatan keris yang kita kenal sekarang. Keris Buda hampir
tidak berpamor. Seandainya ada pamor pada bilah keris itu, maka pamor itu
selalu tergolong pamor tiban, yaitu pamor yang bentuk gambarannya tidak direncanakan oleh Sang Empu.
Sesuai dengan perkembangan budaya masyarakatnya,
bentuk bilah keris juga mengikuti kemajuan zaman. Bentuk bilah yang semula relatif
gemuk, pendek, dan tebal, secara berangsur menjadi menjadi lebih tipis, lebih
langsing, lebih panjang, dan dengan sendirinya makin lama makin menjadi lebih
indah. Ricikan atau komponen keris yang semula hanya berupa gandik,pejetan, dan
sogokan, dari zaman ke zaman bertambah menjadi aneka macam. Misalnya, kembang
kacang, lambe gajah, jalen, jalu memet, lis-lisan, ada-ada, janur, greneng,
tingil, pundak sategal, dan sebagainya. Meskipun dari segi bentuk dan pemilihan
bahan baku,
keris selalui mengalami perkembangan, pola pokok cara pembuatannya hamper tidak
pernah berubah. Pada dasarnya, pola pokok proses pembuatan keris: membersihkan
logam bahan besi yang akan digunakan, mempersatukan besi dan pamor, dan
kemudian memberinya bentuk sehingga disebut keris.
Pada zaman sekarang pembuatan keris masih tetap
dilakukan secara tradisional di daerah Yogyakarta, Surakarta, Madura, Luwu
(Sulawesi Tenggara), Taman Mini
Indonesia Indah (Jakarta), Kelantan (Malaysia), dan Bandar Sri Begawan (Brunai
Darussalam). Pembuatan keris masa kini
masih tetap menggunakan kaidah-kaidah lama. Beberapa di antar para empu dan
pandai keris itu bahkan masih tetap membaca mantera dan doa, serta melakukan
puasa selama masa pembuatan kerisnya.Karena budaya keris ini tersebar luas di seluruh Nusantara, Benda ini mempunyai banyak nama padanan. Di pulau Bali
keris disebut kadutan. Di Sulawesi, selain menyebut keris, orang juga menamakannya
selle atau tappi. Di Filipina, keris dinamakan sundang.Di beberapa daerah benda
itu disebut kerih, karieh, atau kres.Demikian pula bagian-bagian kelengkapan
keris juga banyak mempunyai padanan. Walaupun demikian bentuk keris buatan
daerah mana pun masih tetap memiliki bentuk yang serupa. Dan, juga bentuk bagian-bagiannya
pun tidak jauh berbeda.
Bukan Alat Pembunuh Walaupun oleh sebagian peneliti
dan penulis bangsa Barat keris digolongkan sebagai jenis
senjata tikam, sebenarnya keris dibuat bukan semata-mata untuk membunuh. Keris
lebih bersifat sebagai senjata dalam pengertian simbolik, senjata dalam artian
spiritual. Untuk ‘sipat kandel,’ kata orang Jawa. Karenanya oleh sebagian orang
keris juga dianggap memiliki kekuatan gaib. Bagi yang percaya, keris tertentu
dapat menambah keberanian dan rasa
percaya diri seseorang, dalam hal ini
pemilik keris itu. Keris juga dapat menghindarkan serangan wabah penyakit dan
hama tanaman. Keris dapat pula menyingkirkan dan menangkal gangguan makhluk
halus. Keris juga dipercaya dapat membantu pemiliknya memudahkan pemiliknya
memudahkan mencari dipercaya dapat dimanfaatkan tuahnya, sehingga benda itu dianggap bisa memberikan bantuan keselamatan
bagi pemilik dan orang-orang sekitarnya. Memang ada keris-keris yang
benar-benar digunakan untuk membunuh orang, misalnya keris yang pada zaman dulu
dipakai oleh algojo keraton guna melaksanakan hukuman bagi terpidana mati.
Begitu pula keris-keris yang dibuat untuk prajurit rendahan. Namun kegunaan keris
sebagai alat pembunuh ini pun
sifatnya seremonial dan khusus, misalnya
Kanjeng Kyai Balabar milik Pangeran Puger. Pada abad ke-18
keris ber-dapur Pasopati itu digunakan oleh Sunan
Amangkurat Amral untuk menghukum mati Trunojoyo di alun-alun Kartasura.
Keris adalah benda seni
yang meliputi seni tempa, seni ukir, seni
pahat, seni bentuk, serta seni perlambang,. Pembuatannya selalu disertai doa-doa
tertentu, berbagai mantera, serta upacara dan sesaji khusus. Doa pertama
seorang empu ketika akam mulai menempa keris adalah memohon kepada Yang Maha
Kuasa, agar keris buatannya tidak akan mencelakakan pemiliknya maupun orang
lain. Doa-doa itu juga diikuti dengan tapa brata dan lelaku, antara lain tidak
tidur, tidak makan, tidak menyentuh lawan jenis
pada saat-saat tertentu.Bahan baku pembuatan keris adalah besi, baja, dan bahan
pamor. Bahan pamor ini ada empat
macam;
Pertama, batu meteorit atau batu bintang yang
mengandung unsure titanium. Bahan
pamor yang kedua adalah nikel.
Sedangkan bahan pamor lainnya adalah senyawa besi yang digunakan sebagai bahan pokok.
Biasanya, pamor jenis ketiga ini adalah besi yang yang disebut pamor Luwu.
Sedangkan bahan yang keempat adalah senyawa besi dari daerah lain, yang bila
dicampurkan pada bahan besi dari daerah tertentu akan menimbulkan
nuansa warna serta pemanpilan yang berbeda. Besi dan pamor ditempa
berulang-ulang lalu dibuat berlapis-lapis.Pada zaman ini,
umumnya paling sedikit 64 lapisan. Untuk pembuatan keris berkualitas sederhana
diperlukan lapisan sebanyak 128 buah. Sedangkan yang kualitas baik harus dibuat
lebih 2.000 lapisan. Baru setelah itu, untuk mendapat ketajamanan yang baik,
disisipkan lapisan baja di tengahnya.Segala benda yang tipis akan menjadi jauh
lebih kuat bilamana benda itu dibuat berlapis-lapis. Teori ini sudah dikenal oleh nenek moyang kita sejak
berabad-abad yang lampau. Mereka menemukan teori ini,dan
mempraktikkannya, sekitar 7 atau 8 abad sebelum teknologi pembuatan tripleks
atau kayu lapis (plywood) ditemukan dan diproduksi orang Barat pada awal abad
ke-16.
Pemilihan akan batu meteorit yang mengandung unsur
titanium, juga merupakan penemuan
nenek moyang kita yang mengagumkan. Karena titanium
ternyata memiliki banyak keunggulan dibandingkan jenis
unsur logam lainnya. Unsur titanium
itu keras, kuat, ringan, tahan panas, dan juga tahan karat. Dalam peradaban
modern sekarang, titanium
dimanfaatkan orang untuk membuat pelapis hidung pesawat
angkasa luar, serta ujung roket dan peluru kendali
antar benua.Kaitannya dengan Budaya Lain Selain berfungsi sebagai senjata, baik
secara fisik maupun secara spiritual, keris juga merupakan salah satu
kelengkapan pakaian adat --
baik di Pulau Jawa, maupun di pulau-pulau lain di luar
Jawa. Selin itu masih ada beberapa fungsi keris lainnya, dalam budaya
Indonesia, dan juga budaya Malaysia, Brunai, serta Thailand Selatan. Pada masa silam
keris dapat berfungsi sebagai benda upacara, sebagai tanda ikatan keluarga atau
dinasti, sebagai atribut suatu jabatan tertentu, sebagai lambang kekuasaan
tertentu, dan sebagai wakil atau utusan pribadi pemiliknya. Pada zaman dulu,
seorang utusan raja baru dipandang sah bilamana ia membawa serta salah satu
keris milik raja yang mengutusnya. Bilamana seorang pegawai kerajaan
(abdidalem) menduduki jabatan tertentu, pada upacara wisuda ia akan mendapat sebilah
keris jabatan dari atasannya. Sampai kini,
di kerajaan Brunei Darussalam, tradisi semacam itu masih tetap dilestarikan. Dulu,
kekuasaan seorang raja baru akan dipandang sah oleh rakyatnya manakala raja
mengenakan salah satu keris pusaka kerajaan pada saat penobatan. Di Pulau Jawa,
terutama pada masyarakat suku bangsa Jawa di Jawa Tengah dan sebagian Jawa
Timur, kalau pengantin pria berhalangan hadir pada upacara pernikahan, ia boleh mewakilkan dirinya dengan sebilah
keris miliknya. Jadi, keris itulah yang akan dipersandingkan dengan pengantin
putri di pelaminan. Adat yang demikian juga ada di pada masyarakat Bali. Di
Sumatra Barat seorang pemuda yang hendak berangkat merantau biasanya dibekali
sebilah keris oleh orang tuanya, sebagai perwujudan ikatan keluarga dan doa
restu orang tua. Dari berbagai prasasti yang ditemukan di Pulau Jawa diketahui
bahwa keris pernah juga menjadi salah satu kelengkapan sesaji pada upacara keagamaan
pada waktu itu. Bahkan di desa-desa tertentu di Pulau Jawa, pada akhir masa penjajahan
Belanda, untuk melaksanakan upacara bersih desa masih pula disertakan sebilah
keris kecil yang disebut keris sajen.
Bersih desa adalah suatu upacara selamatan tradisional
untuk memohon pada Yang Maha Kuasa agar warga desa, termasuk sawah ladangnya,
terhindar dari gangguan penyakit dan hama tanaman, terlindung dari ancaman berbagai
bencana alam. Upacara ini juga
dimaksudkan untuk memperbaharui semacam kesepakatan atau agreement dengan makhluk
halus penghuni desa itu (Sing
Mbahureksa - Bhs. Jawa) untuk tidak saling mengganggu dengan penduduk desa.
Keris sajen adalah keris kecil yang dibuat amat sederhana. Keris ini dalam berbagai buku yang ditulis orang Barat
disebut sebagai keris Majapahit. Jadi, penyebutan keris kecil yang sederhana
itu sebagai keris Majapahit oleh sebagian orang Barat adalah salah!
Yang benar adalah keris sajen. Atau, keris sesaji. Memang,
budaya keris amat erat kaitannya dengan berbagai budaya lain dalam masyarakat
berbagai suku bangsa di Indonesia.
Budaya Asli Indonesia
Keris adalah budaya asli Indonesia. Walaupun pada abad
ke-14, nenek moyang bangsa Indonesia pada umumnya beragama Hindu dan Budha, tidak
pernah ditemukan bukti bahwa budaya keris berasal dari India atau negara lain.
Tidak pula ditemukan bukti adanya kaitan langsung antara senjata tradisional
itu dengan kedua agama itu. Jika pada beberapa candi di Pulau Jawa ditemui
adanya gambar timbul (relief) yang menggambarkan adanya senjata yang berbentuk
keris,maka pada candi yang ada di India atau negara lain, bentuk senjata
semacam ini tidak pernah ada. Bahkan
senjata yang berpamor, tidak pernah ada dalam sejarah India. Bentuk senjata
yang menyerupai keris pun tidak pernah dijumpai di negeri itu. Dalam kitab
Mahabarata dan Ramayana yang ditulis pujangga India, tidak ditemukan satu pun
senjata yang bernama keris. Jenis
senjata yang ada dalam buku epos agama Hindu itu adalah gendewa dan panahnya,
gada, pedang, dan cakra.
Tetapi tidak keris! Keris baru dijumpai setelah kedua cerita
itu diadaptasi oleh orang Jawa dan menjadi cerita wayang! Beberapa buku yang
ditulis orang Barat menyebutkan bahwa di Persia (kini
Iran) dulu juga pernah ada pembuatan senjata berpamor yang serupa dengan keris yang
ada di Indonesia. Ini pun keliru! Beberapa
jenis senjata kuno buatan Persia
memang dihiasi dengan semacam lukisan atau kaligrafi pada
permukaan bilahnya. Namun penerapan teknik hiasan itu beda benar dengan pamor. Teknik menghias gambar pada permukaan yang dilakukan
bilah senjata yang dilakukan di Iran adalah dengan menggores permukaan bilah
itu sehingga timbul alur, kemudian ke dalam alur goresan itu dibenamkan
(dijejalkan) kepingan tipis logam emas atau kuningan.
Jadi, teknik hias yang digunakan
orang Iran adalah teknik inlay, yang
oleh orang Jawa disebut sinarasah. Tetapi hiasan sinarasah itu sama sekali
bukan pamor, melainkan hanya merupakan hiasan tambahan atau susulan. Sedangkan
pamor adalah hiasan yang terjadi karena adanya lapisan-lapisan dari dua (atau
lebih) jenis logam yang berbeda nuansa
warna dan penampilannya, yaitu besi, baja, serta bahan pamor. Besinya berwarna
kehitaman, bajanya agak abu-abu, sedangkan pamornya cemerlang keperakan.
Padahal semua senjata buatan Iran, praktis hanya terbuat dari satu macam logam,
yakni baja melulu. Memang teknik pembuatan pamor pada bilah keris agak serupa
dengan teknik pembuatan baja
Damaskus. Pedang Damaskus atau baja Damaskus juga terbuat dari paduan dua logam
yang mempunyai nuansa beda. Pedang itu pun menampilkan gambaran semacam pamor pada
permukaan bilahnya. Tetapi meskipun teknik
pembuatannya hampir sama, niat dan
tujuan pembuatan kedua benda itu jauh berbeda. Pedang Damaskus dibuat dengan
tujuan utama membunuh lawan, senantiasa diasah tajam. Sedangkan keris dibuat
untuk benda pusaka, untuk mendapat kepercayaan diri (sipat kandel - Bhs. Jawa),
diharapkan manfaat gaibnya, serta tidak pernah diasah setelah keris itu jadi.
Di Indonesia, keris yang baik pada umumnya selain
berpamor juga diberi hiasan tambahan dari emas, perak, dan juga permata. Hiasan
ini dibuat untuk memuliakan keris
itu, atau sebagai penghargaan Si Pemilik terhadap kerisnya. Pemberian emas
dapat juga sebagai anugrah dari raja atas penghargaan terhadap jasa Si Pemilik
keris itu. Hiasan yang dinilai
paling tinggi derajatnya adalah bilamana sebilah keris diberi kinatah atau
tinatah. Permukaan bilah keris dipahat dan
diukir denga motif tertentu sehingga membentuk gambar
timbul (relief) dan kemudian dilapisi dengan emas. Terkadang, di sela-sela motif
hiasan berlapis emas itu masih ditambah lagi dengan intan atau berlian. Jika
hiasan kinatah itu menutup sepertiga bagian panjang bilah atau lebih, disebut
kinatah kamarogan. Jenis motif kinatah
juga banyak ragamnya. Yang paling terkenal adalah, pada bilah keris adalah
kinatah lung-lungan, dan pada ganja kinatah gajah singa. Hiasan sinarasah emas
seperti yang dilakukan orang Persia kuno, tergolong lebih sederhana
dibandingkan dengan kinatah. Teknik sinarasah,
selain digunakan untuk menghias permukaan bilah, juga sering digunakan untuk
membuat motif rajah. Yaitu gambaran yang dianggap memiliki pengaruh gaib.
Misalnya rajah Kalacakra, rajah Bintang Soleman, dll. Ditinjau dari cara dan niat pembuatannya keris dapat dibagi atas dua golongan
besar. Yaitu yang disebut keris ageman, yang hanya mementingkan keindahan
lahiriah (eksoteri) keris itu. Golongan dua adalah keris tayuhan, yang lebih
mementingkan tuah atau kekuatan gaibnya (isoteri atau esoteri). Ditinjau dari
bentuk dan kelengkapan bagian-bagiannya, keris terbagi atas 240 dapur keris.
Dari jumlah yang ratusan itu, secara umum dapat dibagi atas dua golongan besar,
yaitu keris yang lurus dan yang berkelok-kelok bilahnya. Yang berkelok-kelok
bilahnya itu disebut keris luk. Jumlah kelokan atau luknya, mulai dari tiga
sampai dengan 13. Keris yang luknya lebih dari 13, dianggap sebagai keris yang
tidak normal (tetapi bukan berarti tidak baik), dan disebut keris Kalawija. Sedangkan
motif hiasan pamor pada bilahnya, lebih dari 150 ragam pamor. Keris yang dibuat
dalam lingkungan keraton oleh para empu keraton, umumnya diberi gelar Kyai,
Kanjeng Kyai, dan Kanjeng Kyai Ageng, Selain gelar, keris juga diberi nama.
Gelar dan nama keris itu tercatat dan disimpan dalam arsip keraton. Sedangkan
keris milik keratin biasanya disimpan dalam ruangan khususyang disebut Gedong
Pusaka. Keris-keris yang terkenal dan disebut-sebut dalam legenda atau cerita rakyat,
yang paling terkenal adalah keris Empu Gandring pada zaman Kerajaan Singasari.
Keris itu konon dibuat oleh Empu Gandring atas pesanan Ken Arok untuk membunuh
Tunggul Ametung, penguasa Tumapel. Keris terkenal lainnya adalah Kanjeng Kyai
Ageng Sengkelat, pusaka Keraton Majapahit yang konon pernah dicuri oleh Adipati
Blambangan. Ada lagi keris Kyai Setan Kober yang dipakai oleh Arya Penangsang,
sewaktu berperang melawan Danang Sutawijaya, pada awal berdirinya kerajaan
Pajang. Sedangkan di pantai timur Sumatra dan Semenanjung Malaya, yang terkenal
adalah keris Si Ginje.
Cara Memakai
Cara mengenakan keris sewaktu seseorang memakai
pakaian adat, berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya.
Selain itu dalam satu daerah, kadang-kadang cara pemakaian itu juga berbeda
antara lapisan masyarakat yang satu dengan lainnya, tergantung pada tingkat
sosialnya. Dan itu pun harus disesuaikan, pada situasi apa keris itu akan
dikenakan. Mengenai tata cara mengenakan keris ini
pada setiap daerah, setiap suku bangsa, memang ada aturannya, ada etikanya. Di
Pulau Jawa, misalnya, cara mengenakan keris pada suatu pesta, tidak sama dengan
kalau keris itu dikenakan untuk menghadiri suatu acara kematian dan penguburan.
Di Pulau Jawa pada umumnya keris dikenakan orang
dengan cara menyelipkannya di antara stagen sejenis
ikat pinggang, di pinggang bagian belakang. Yang paling umum, keris itu
diselipkan miring ke arah tangan kanan, namun pada situasi yang lain, lain pula
posisi kerisitu. Umpamanya, pada situasi perang, kalau yang mengenakan keris itu
seorang ulama - keris akan diselipkan di bagian dada, miring ke arah tangan
kanan. Misalnya seperti yang dikenakan oleh Pangeran Diponegoro pada
gambar-gambar yang dapat kita lihat di buku sejarah. Di Pulau Bali keris
dikenakan dengan cara menyelipkannya pada lipatan kain, di punggung dengan
posisi tegak atau miring ke kanan. Tetapi pada situasi yang khusus, cara
pemakaiannya juga lain lagi. Di daerah Minangkabau, Bangkinang, bengkulu,
Palembang, Riau, Malaysia, Brunai Darussalam, Pontianak, Sambas, Kutai,
Tenggarong, Banjar, Bugis, Goa, Makassar, Luwu, dll, keris biasanya dikenakan dengan
cara menyelipkannya pada lipatan kain sarung, di bagian dada atau perut Si
Pemakai, dengan kedudukan serong ke arah tangankanan. Pada sebagian suku bangsa
di Indonesia, mengenakan pakaian adat tanpa keris adalah sesuatu yang aneh,
janggal, tidak masuk akal.
Barangkali seperti melihat orang Eropa mengenakan jas
dan dasi tetapi tanpa sepatu. Perjodohan Sebagai benda antik yang banyak
penggemarnya, nilai sebilah keris selain
ditentukan oleh keindahannya, mutu, dan jenis
bahan bakunya, juga oleh umurnya. Pada umumnya, makin tua keris itu, senjata pusaka
itu akan makin dihargai.Namun penilaian
terhadap mutu sebilah keris bukan hanya berdasar umur, juga keutuhan, serta
beberapa faktor lainnya. Para penggemar keris pada umumnya mempunyai pedoman
umum dalam menilai sebuah keris.
Pedoman itu adalah tangguh, sepuh, dan wutuh.Yang dimaksudkan adalah, perkiraan
asal pembuatan keris itu (tangguh), relatif sudah tua (sepuh), dan belum ada
cacat, gripis, aus, atau lepas salah satu bagiannya (wutuh). Selain itu ada
pula penggemar keris yang menambah tiga kriteria di atas dengan memperhatikan
bahan besinya, bahan pamornya, keindahan bentuknya, serta kebenaran pakem
pembuatannya dan wibawa atau pengaruh yang terpancar dari bilah keris itu. Di
beberapa kota di Pulau Jawa ada perhimpunan penggemar dan pecinta tosan aji,
terutama keris. Di Surakarta, namanya Boworoso Tosan Aji, setelah itu ada
Boworoso Panitikadga. Di Yogyakarta
dan Jakarta ada Pametri Wiji, singkatan dari Paheman Memetri Wesi Aji. Kemudian
pada tahun 1990, di Jakarta, ada lagi Damartaji, singkatan Persaudaraan
Penggemar Tosan Aji. Secara berkala, para pecinta tosan aji dan keris itu
mengadakan sarasehan dan diskusi untukmembahas budaya keris dari berbagai segi.
Jual beli dalam dunia perkerisan
biasanya diistilahkan dengan perjodohan. Sedangkan harganya, pada umumnya
disebut mas kawin.Bilamana sebilah keris diberikan kepada seseorang tanpa mas
kawin,Si Penerima keris itu harus memberikan petukan atau jemputan kepada Si
Pemberi. Di Malaysia dan Brunai Darussalam, tradisi yang demikian disebut mahar
atau imbal, sedangkan di Riau dan Kalimantan Barat juga menggunakan istilah
jemputan. Istilah perjodohan dalam dunia
perkerisan timbul karena anggapan sebagian besar pecinta keris bahwa tidak
sembarang keris dapat cocok dengan seseorang. Keris yang dianggap sesuai dan
cocok bagi Si A, mungkin tidak cocok dipakai oleh si B. Keris yang cocok dan
sesuai tuah atau isoterinya, disebut jodoh. Sedangkan istilah mas kawin, timbul
karena anggapan bahwa istilah jual beli terlalu rendah dan kasar bila digunakan
untuk menyebut adanya transaksi pada sebilah keris. Jadi, jika seseorang akan
menanyakan berapa harga sebilah keris, maka ia harus berkata: "Boleh saya
tahu berapa mas kawinnya?". Bahkan, dulu bilamana seseorang menginginkan
keris milik orang lain, ia bukan menyatakan hasratnya ingin membeli, melainkan mengatakan
ingin melamar keris itu. "Jika diperkenankan, saya ingin melamar keris
bapak yang ber-dapur Jalak Sangu Tumpeng dan berpamor Wos Wutah itu..."
Itu semua dilakukan oleh orang yang hidup pada masa
dulu, yakni nenek moyang kita,
sebagai suatu etika, pengakuan dan penghargaan masyarakat atas tingginya
kedudukan di mata masyarakat itu sendiri.
Siraman Pusaka
Khususnya di Pulau Jawa, ada tradisi memandikan atau
mencuci dan mewarangi keris setahun sekali, pada saat-saat tertentu. Di Keraton
Surakarta, baik Keraton Kasunanan maupun Keraton Mangkunegaran tradisi mencuci
keris itu disebut Siraman Pusaka, diselenggarakan pada setiap bulan Sura
menurut kalender Jawa, atau Muharam menurut sebutan kalender Hijrah. Begitu
pula di Yogyakarta, baik Keraton Kasultanan maupun Keraton Pakualaman. Tradisi
itu kemudian ditiru oleh orang-orang di luar keraton, baik di Jawa Tengah,
maupun di Jawa Timur. Mereka pun membersihkan kerisnya pada bulan Sura setiap
tahun. Tetapi di beberapa daerah lain, tradisi membersihkan keris ini ada yang dilakukan pada bulan Maulud menurut
kalender Hijrah. Sebenarnya, tradisi tahunan semacam itu tidak selalu menguntungkan.
Dengan mencuci, membersihkan, dan mewarangi keris setiap tahun, bilah keris
akan cepat aus. Seharusnya, keris yang masih terawat baik tidak harus disirami
setiap tahun, karena air jeruk yang digunakan sebagai pembersih pada hakekatnya
juga melarutkan sebagian besi di permukaan keris itu. Sebilah keris yang terawatt
dengan baik, cukup dibersihkan dan diwarangi tiga atau empat tahun sekali.
Asal Usul Keris
Keris dan tosan aji serta senjata tradisional lainnya
menjadi khasanah budaya Indonesia, tentunya setelah nenek moyang kita mengenal besi.
Berbagai bangunan candi batu yang dibangun pada zaman sebelum abad ke-10
membuktikan bahwa bangsa Indonesia pada waktu itu telah mengenal peralatan besi
yang cukup bagus, sehingga mereka dapat menciptakan karya seni pahat yang bernilai
tinggi. Namun apakah ketika itu bangsa Indonesia mengenal budaya keris sebagaimana
yang kita kenal sekarang, para ahli baru dapat merabaraba. Gambar timbul
(relief) paling kuno yang memperlihatkan peralatan besi terdapat pada prasasti
batu yang ditemukan di Desa Dakuwu, di daerah Grabag, Magelang, Jawa Tengah.
Melihat bentuk tulisannya, diperkirakan prasasti tersebut dibuat pada sekitar
tahun 500 Masehi. Huruf yang digunakan, huruf Pallawa. Bahasa yang dipakai
adalah bahasa Sanskerta. Prasasti itu menyebutkan tentang adanya sebuah mata
air yang bersih dan jernih. Di atas
tulisan prasasti itu ada beberapa gambar, diantaranya: trisula, kapak, sabit
kudi, dan belati atau pisau yang bentuknya amat mirip dengan keris buatan Nyi
Sombro, seorang empu wanita dari
zaman Pajajaran. Ada pula terlukis kendi, kalasangka, dan bunga teratai. Kendi,
dalam filosofi Jawa Kuno adalah lambang ilmu pengetahuan, kalasangka
melambangkan keabadian, sedangkan bunga teratai lambang harmoni dengan alam.
Beberapa Teori
Sudah banyak ahli kebudayaan yang membahas tentang
sejarah keberadaan dan perkembangan keris dan tosan aji lainnya. G.B. GARDNER
pada tahun 1936 pernah berteori bahwa keris adalah perkembangan bentuk dari
senjata tikam zaman prasejarah, yaitu tulang ekor atau sengat ikan pari
dihilangkan pangkalnya, kemudian dibalut dengan kain pada tangkainya. Dengan
begitu senjata itu dapat digenggam dan dibawa-bawa. Maka jadilah sebuah senjata
tikam yang berbahaya, menurut ukuran kala itu.
Sementara itu GRIFFITH WILKENS pada tahun 1937
berpendapatbahwa budaya keris baru timbul pada abad ke-14 dan 15. Katanya, bentuk
keris merupakan pertumbuhan dari bentuk tombak yang banyak digunakan oleh
bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan antara Asia dan Australia. Dari mata lembing
itulah kelak timbul jenis senjata
pendek atau senjata tikam, yang kemudian dikenal dengan nama keris. Alasan
lainnya, lembing atau tombak yang tangkainya panjang, tidak mudah dibawa
kemana-mana. Sukar dibawa menyusup masuk hutan. Karena pada waktu itu tidak
mudah orang mendapatkan bahan besi, maka mata tombak dilepas dari tangkainya
sehingga menjadi senjata genggam. Lain lagi pendapat A.J. BARNET KEMPERS. Pada
tahun 1954 ahli purbakala itu menduga bentuk prototipe keris merupakan perkembangan
bentuk dari senjata penusuk pada zaman perunggu.
Keris yang hulunya berbentuk patung kecil yang
menggambarkan manusia dan menyatu dengan bilahnya, oleh Barnet Kempers bukan dianggap
sebagai barang yang luar biasa. Katanya, senjata tikam dari kebudayaan perunggu
Dong-son juga berbentuk mirip itu. Hulunya merupakan patung kecil yang menggambarkan
manusia sedang berdiri sambil berkacak pinggang (malang-kerik, bahasa Jawa).
Sedangkan senjata tikam kuno yang pernah ditemukan di
Kalimantan, pada bagian hulunya juga distilir dari bentuk orang berkacak pinggang.
Perkembangan bentuk dasar senjata tikam itu dapat dibandingkan dengan
perkembangan bentuk senjata di Eropa. Di benua itu, dulu, pedang juga distilir
dari bentuk menusia dengan kedua tangan terentang lurus ke samping. Bentuk hulu
pedang itu, setelah menyebarnya agama Kristen, kemudian dikembangkan menjadi
bentuk yang serupa salib. Dalam kaitannya dengan bentuk keris di Indonesia,
hulu keris yang berbentuk manusia (yang distilir), ada yang berdiri, ada yang membungkuk,
dan ada pula yang berjongkok, Bentuk ini
serupa dengan patung megalitik yang ditemukan di Playen, Gunung Kidul, Yogyakarta.
Dalam perkembangan kemudian, bentuk-bentuk itu makin distilir lagi dan kini menjadi bentuk hulu keris (Di Pulau Jawa disebut deder,
jejeran, atau ukiran) dengan ragam hias cecek, patra gandul, patra ageng,
umpak-umpak, dlsb.Dalam sejarah budaya kita, patung atau arca orang berdiri
dengan agak membungkuk, oleh sebagian ahli, diartikan sebagai lambing orang
mati. Sedangkan patung yang menggambarkan manusia dengan sikap sedang jongkok
dengan kaki ditekuk, dianggap melambangkan kelahiran, persalinan, kesuburan,
atau kehidupan. Sama dengan sikap bayi atau janin
dalam kandungan ibunya.
Ada sebgian ahli bangsa Barat yang tidak yakin bahwa
keris sudah dibuat di Indonesia sebelum abad ke-14 atau 15. Mereka mendasarkan teorinya
pada kenyataan bahwa tidak ada gambar yang jelas pada relief candi-candi yang
dibangun sebelum abad ke-10. SIR THOMAS STAMFORD RAFFLES dalam bukunya History
of Java (1817) mengatakan, tidak kurang dari 30 jenis
senjata yang dimiliki dan digunakan prajurit Jawa waktu itu, termasuk juga
senjata api. Tetapi dari aneka ragam senjata itu, keris menempati kedudukan
yang istimewa. Disebutkan dalam bukunya itu, prajurit Jawa pada umumnya menyandang
tiga buah keris sekaligus. Keris yang dikenakan di pinggang sebelah kiri,
berasal dari pemberian mertua waktu pernikahan
(dalam budaya Jawa disebut kancing gelung). Keris yang dikenakan di pinggang
kanan, berasal dari pemberian orang tuanya sendiri. Selain itu berbagai tata
cara dan etika dalam dunia
perkerisan juga termuat dalam buku Raffles itu. Sayangnya dalam buku yang terkenal
itu, penguasa Inggris itu tidak menyebut-nyebut tentang sejarah dan asal usul
budaya keris. Sementara itu istilah ‘keris’ sudah dijumpai pada beberapa
prasasti kuno. Lempengan perunggu bertulis yang ditemukan di Karangtengah, berangka
tahun 748 Saka, atau 842 Masehi, menyebut-nyebut beberapa jenis sesaji untuk menetapkan Poh sebagai daerah bebas
pajak, sesaji itu antara lain berupa ‘kres’, wangkiul, tewek punukan, wesi
penghatap. Kres yang dimaksudkan pada kedua prasasti itu adalah keris. Sedangkan
wangkiul adalah sejenis tombak,
tewek punukan adalah senjata bermata dua, semacam dwisula. Pada lukisan gambar
timbul (relief) Candi Borobudur, Jawa Tengah, di sudut bawah bagian tenggara,
tergambar beberapa orang prajurit membawa senjata tajam yang serupa dengan
keris yang kita kenal sekarang. Di Candi Prambanan, Jawa Tengah, juga tergambar
pada reliefnya, raksasa membawa senjata tikam yang serupa benar dengan keris.
Di Candi Sewu, dekat Candi Prambanan, juga ada. Arca raksasa penjaga,
menyelipkan sebilah senjata tajam, mirip keris. Sementara itu edisi pertama dan
kedua yang disusun oleh Prof. P.A VAN DER LITH menyebutkan, sewaktu stupa induk
Candi Borobudur, yang dibangun tahun 875 Masehi, itu dibongkar, ditemukan
sebilah keris tua. Keris itu menyatu antara bilah dan hulunya. Tetapi bentuk keris
itu tidak serupa dengan bentuk keris yang tergambar pada relief candi. Keris
temuan ini kini
tersimpan di Museum Ethnografi, Leiden, Belanda. Keterangan mengenai keris
temuan itu ditulis oleh Dr. H.H. JUYNBOHL dalam Katalog Kerajaan (Belanda)
jilid V, Tahun 1909. Di katalog itu dikatakan, keris itu tergolong ‘keris
Majapahit‘, hulunya berbentuk patung orang, bilahnya sangat tua. Salah satu
sisi bilah telah rusak. Keris, yang diberi nomor seri 1834, itu adalah
pemberian G.J. HEYLIGERS, sekretaris kantor Residen Kedu, pada bulan Oktober 1845.
Yang menjadi residennya pada waktu itu adalah Hartman. Ukuran panjang bilah
keris temuan itu 28.3 cm, panjang hulunya 20,2 cm, dan lebarnya 4,8 cm.
Bentuknya lurus, tidak memakai luk. Mengenai keris ini,
banyak yang menyangsikan apakah sejak awalnya memang telah diletakkan di tengah
lubang stupa induk Candi Borobudur. Barnet Kempres sendiri menduga keris itu
diletakkan oleh seseorang pada masa-masa kemudian, jauh hari setelah Candi Borobudur
selesai dibangun. Jadi bukan pada waktu pembangunannya. Ada pula yang menduga,
budaya keris sudah berkembang sejak menjelang tahun 1.000 Masehi. Pendapat ini didasarkan atas laporan seeorang musafir Cina
pada tahun 922 Masehi. Jadi laporan itu dibuat kira-kira zaman Kahuripan
berkembang di tepian Kali Brantas, Jawa Timur. Menurut laporan itu, ada
seseorang Maharaja Jawa menghadiahkan kepada Kaisar Tiongkok "a short
swords with hilts of rhinoceros horn or gold (pedang pendek dengan hulu terbuat
dari dari cula badak atau emas). Bisa jadi pedang pendek yang dimaksuddalam laporan
itu adalah protoptipe keris seperti yang tergambar pada relief Candi Borobudur
dan Prambanan.
Sebilah keris yang ditandai dengan angka tahun pada
bilahnya, dimiliki oleh seorang Belanda bernama Knaud di Batavia (pada zaman Belanda
dulu). Pada bilah keris itu selain terdapat gamabar timbul wayang, juga
berangka tahun Saka 1264, atau 1324 Masehi. Jadi kirakira sezaman dengan saat
pembangunan Candi Penataran di dekat kota Blitar, Jawa Timur. Pada candi ini memang terdapat patung raksasa Kala yang
menyandang keris pendek lurus. Gambar yang jelas mengenai keris dijumpai pada
sebuah patung siwa yang berasal dari zaman Kerajaan Singasari, pada abad ke-14.
Digambarkan dengan Dewa Siwa sedang memegang keris panjang di tangan kanannya.
Jelasini bukan tiruan patung Dewa
Siwa dari India, karena di India tak pernah ditemui adanya patung Siwa memegang
keris. Patung itu kini tersimpan di
Museum Leiden, Belanda. Pada zaman-zaman berikutnya, makin banyak candi yang
dibangun di Jawa Timur, yang memiliki gambaran keris pada dinding reliefnya. Misalnya
pada Candi Jago atau Candi Jajagu, yang dibangun tahun 1268 Masehi. Di candi
itu terdapat relief yang menggambarkan Pandawa (tokoh wayang) sedang bermain
dadu. Punakawan yang terlukis di belakangnya digambarkan sedang membawa keris.
Begitu pula pada candi yang terdapat di Tegalwangi, Pare, dekat Kediri, dan Candi
Panataran. Pada kedua candi itu tergambar relief tokoh-tokoh yang memegang
keris. Cerita mengenai keris yang lebih jelas dapat dibaca dari laporan seorang
musafir Cina bernama Ma Huan. Dalam laporannya Yingyai Sheng-lan di tahun 1416
Masehi ia menuliskan pengalamannya sewaktu mengunjungi Kerajaan Majapahit. Ketika
itu ia datang bersama rombongan Laksamana Cheng-ho atas perintah Kaisar Yen
Tsung dari dinasti Ming. Di Majapahit, Ma Huan menyaksikan bahwa hampir semua
lelaki di negeri itu memakai pulak, sejak masih kanak-kanak, bahkan sejak
berumur tiga tahun. Yang disebut pulak oleh Ma Huan adalah semacam belati lurus
atau berkelok-kelok. Jelas ayang dimaksud adalah keris. Kata Ma Huan dalam
laoparan itu: These daggers have very thin stripes and within flowers and made
of very best steel; the handle is of gold, rhinoceros, or ivory, cut into the
shapeof human or devil faces and finished
carefully. Laporan ini membuktikan
bahwa pada zaman itu telah dikenal teknik
pembuatan senjata tikam dengan hiasan pamor dengan gambaran garis-garis amat
tipis serta bunga-bunga keputihan. Senjata ini
dibuat dengan baja berkualitas prima. Pegangannya, atau hulunya, terbuat dari
emas, cula badak, atau gading. Tak pelak lagi, tentunya yang dimaksudkan Ma
Huan dalam laporannya adalah keris yang kita kenal sekarang ini. Gambar timbul mengenai cara pembuatan keris,
dapat disaksikan di Candi Sukuh, di lereng Gunung Lawu, di perbatasan Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Pada candra sengkala memet di candi itu, terbaca angka
tahun 1316 Saka atau 1439 Masehi. Cara pembuatan keris yang digambarkan di
candi itu tidak jauh berbeda dengan cara pembuatan keris keris pada zaman
sekarang. Baik peralatan kerja, palu dan ububan, maupun hasil karyanya berupa keris,
tombak, kudi, dll.Teori Itu Tak Selalu Benar Bagi sebagian besar pecinta keris
dan tosan aji di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, teori-teori yang
dikemukakan oleh para ahli Barat itu banyak sekali mengandung kelemahan, dan
terkadang bahkan tidak logis. Satu hal yang tidak ‘tertangkap’ dalam alam pikir
para ahli Barat, adalah bahwa keris dibuat orang (para empu) sama sekali bukan dengan
maksud untuk digunakan sebagai alat pembunuh. Banyak buku yang ditulis orang
Barat menyebut keris sebagai salah satu senjata tikam atau stabbing weapons.
Buku-buku Barat pada umumnya memberi kesan bahwa keris serupa atau sama saja
dengan belati atau ponyard (poignard). Padahal
ada perbedaan sangat besar dan mendasar di antara mereka. Belati, sangkur, atau
poyard memang sengaja dibuat untuk menusuk lawan, melukai atau membunuhnya,
sedangkan keris tidak. Keris dibuat terutama untuk digunakan sebagai pusaka
atau sipat kandel, yang dipercaya dapat melindungi serta memberi keselamatan
dan kesejahteraan pemiliknya. Kekeliruan lain yang terasa agak menyakitkan
hati, adalah penyebutan keris-keris sajen sebagai keris Majapahit oleh sebagian
buku yang ditulis oleh orang Barat. Bagi orang Indonesia, terutama suku bangsa
Jawa, keris Majapahit adalah salah satu produk budaya yang indah dan relatif
sempurna -- yang sama sekali tidak dapat disamakan dengan keris sajen yang
dibuat amat sangat sederhana.
Dari uraian ringkas di atas, cukup beralasan bagi kita
kalau memperkirakan bahwa keris sudah mulai dibuat di Indonesia, Di Pulau Jawa,
pada abad ke-5 atau 6. Tentu saja dalam bentuk yang masih sederhana. Keris
mencapai bentuknya seperti yang kita kenal sekarang, diperkirakan baru pada
sekitar abad ke-12 atau 13. Budaya keris mencapai puncaknya pada zaman Kerajaan
Majapahit, seperti yang telah ilaporkan oleh Ma Huan. Pada kala itulah budaya
keris menyebar sampai ke Palembang, Riau, Semenanjung Malaya, Brunei
Darussalam, Filipina Selatan, Kamboja atau Champa, bahkan sampai ke Surathani dan Pathani
di Thailand bagian selatan. Budaya keris terkadang disalah mengertikan oleh
sebagian peneliti Barat, sehingga hasil tulisan mereka terkadang tidak sesuai
dengan alam budaya bangsa Indonesia. Aspek Eksoteri dan Esoteri Ilmu perkerisan
terbagi menjadi dua aspek bahasan, yakni
mengenai eksoteri dan esoterinya. Sebagian orang menganggap kedua aspek itu
sama pentingnya, sebagian lagi menilai yang penting eksoterinya, dan yang lain
menganggap sebaliknya. Apapun anggapan dan penilaian
Anda, itu akan mencerminkan sikap pribagi Anda pada budaya keris.
Aspek Eksoteri Keris Eksoteri adalah telaah yang
membahas hal-hal yang dapat terlihat, dapat diraba, dan bisa diukur. Dalamdunia perkerisan, eksoteri keris meliputi pembicaraan
masalah dapur keris, pamor keris, warangka (sarung) keris, kiran (hulu) keris,
termasuk teknik pembuatan dan sejarah
asal usulnya. Bentuk bilah keris terdiri atas ratusan dapur (lihat Istilah
Keris) Dari yang ratusan itu bisa dibagi menjadi dua golongan besar, yakni bilah keris yang lurus, dan yang memakai
luk.Dapur Keris Lurus
1. Betok
2. Brojol
3. Tilam Upih atau Tilam Petak
4. Jalak
5. Panji Nom
6. Jaka Upa atau Jaga Upa
7. Semar Betak
8. Regol
9. Karna Tinanding
10. Kebo Teki
11. Kebo Lajer
12. Jalak Nguwuh atau Jalak Ruwuh
13. Sempaner atau Sempana Bener
14. Jamang Murub
15. Tumenggung
16. Patrem
17. Sinom Worawari
18. Condong Campur
19. Kalamisani
20. Pasopati
21. Jalak Dinding
22. Jalak Sumelang Gandring
23. Jalak Ngucup Madu
24. Jalak Sangu Tumpeng
25. Jalak Ngore
26. Mundarang atau Mendarang
27. Yuyurumpung
28. Mesem
29. Semar Tinandu
30. Ron Teki atau Roning
Teki
31. Dungkul
32. Kelap Lintah
33. Sujen Ampel
34. Lar Ngatap atau Lar Ngantap
35. Mayat atau Mayat Miri (ng)
36. Kanda Basuki
37. Putut dan Putut Kembar
38. Mangkurat
39. Sinom
40. Kala Muyeng atau Kala Munyeng
41. Pinarak
42. Tilam Sari
43. Jalak Tilam Sari
44. Wora-wari
45. Marak
46. Damar Murub atau Urubing Dilah
47. Jaka Lola
48. Sepang
49. Cundrik
50. Cengkrong
51. Nagapasa atau Naga Tapa
52. Jalak Ngoceh
53. Kala Nadah
54. Balebang
55. Pedak Sategal
56. Kala Dite
57. Pandan Sarawa
58. Jalak Barong atau Jalak Makara
59. Bango Dolog Leres
60. Singa Barong Leres
61. Kikik
62. Mahesa Kantong
63. Maraseba.
Dapur Keris Luk Tiga
1. Jangkung Pacar
2. Jangkung Mangkurat
3. Mahesa Nempuh
4. Mahesa Soka
5. Segara Winotan atau Jaladri Winotan
6. Jangkung
7. Campur Bawur
8. Tebu Sauyun
9. Bango Dolog
10. Lar Monga atau Manglar Monga
11. Pudak Sategal Luk 3
12. Singa Barong Luk 3
13. Kikik luk 3
14. Mayat
15. Jangkung
16. Wuwung
17. Mahesa Nabrang
18. Anggrek Sumelang Gandring
Dapur Keris Luk Lima
1. Pandawa
2. Pandawa Cinarita
3. Pulanggeni
4. Anoman
5. Kebo Dengen atau Mahesa Dengen
6. Pandawa Lare
7. Pundak Sategal Luk 5
8. Urap-urap
9. Nagasalira atau Naga Sarira
10. Naga Siluman
11. Bakung
12. Rara Siduwa atau Lara Siduwa atau Rara Sidupa
13. Kikik Luk 5
14. Kebo Dengen
15. Kala Nadah Luk 5
16. Singa Barong Luk 5
17. Pandawa Ulap
18. Sinarasah
19. Pandawa Pudak Sategal
Dapur Keris Luk Tujuh
1. Crubuk atau Carubuk
2. Sempana Bungkem
3. Balebang Luk 7
4. Murna Malela
5. Naga Keras
6. Sempana Panjul atau Sempana Manyul
7. Jaran Guyang
8. Singa Barong Luk 7
9. Megantara
10. Carita Kasapta
11. Naga Kikik luk 7
Dapur Keris Luk Sembilan
1. Sempana Cinarito
2. Kidang Soka
3. Carang Soka
4. Kidang Mas
5. Panji Sekar
6. Jurudeh
7. Paniwen
8. Panimbal
9. Sempana Kalentang
10. Jaruman
11. Sabuk Tampar
12. Singa Barong Luk 9
13. Buta Ijo
14. Carita Kanawa Luk 9
15. Kidang Milar
16. Klika Benda
Dapur Keris Luk Sebelas
1. Carita
2. Carita Daleman
3. Carita Keprabon
4. Carita Bungkem
5. Carita Gandu
6. Carita Prasaja
7. Carita Genengan
8. Sabuk Tali
9. Jaka Wuru
10. Balebang Luk 11
12. Sempana Luk 11
13. Santan
14. Singa Barong Luk 11
15. Naga Siluman Luk 11
16. Sabuk Inten
17. Jaka Rumeksa atau Jaga Rumeksa
Dapur Keris Luk Tigabelas
1. Sengkelat
2. Parung Sari
3. Caluring
4. Johan Mangan Kala
5. Kantar
6. Sepokal
7. Lo Gandu atau Lung Gandu
8. Naga sasra
9. Singa Barong Luk 13
10. Carita Luk 13
11. Naga Siluman Luk 13
12. Mangkunegoro
13. Bima Kurda Luk 13
14. Karawelang Luk 13 atau Kala Welang
15. Bima Kurda Luk 13
16. Naga Siluman Luk 13
Dapur Keris Luk Limabelas
1. Carang Buntala.
2. Sedet
3. Ragawilah
4. Raga Pasung
5. Mahesa Nabrang atau Kebo Nabrang
6. Carita Buntala Luk 15
Dapur Keris Luk Tujuhbelas
1. Carita Kalentang
2. Sepokal Luk 17
3. Lancingan atau Kancingan atau Cancingan
4. Ngamper Buta
Dapur Keris Luk Sembilanbelas
1. Trimurda
2. Karacan
3. Bima Kurda Luk 19
Dapur Keris Luk Duapuluh Satu
1. Kala Tinanding
2. Trisirah
3. Drajid
Dapur Keris Luk Duapuluh Lima
1. Bima Kurda Luk 25
Dapur Keris Luk Duapuluh Tujuh
1. Tagawirun
Dapur Keris Luk Dupuluh Sembilan
1. Kala Bendu Luk 29
Di Pulau Jawa, keris yang luknya limabelas atau lebih,
digolongkan sebagai keris Kalawijan atau Palawijan. Dulu, keris kalawijan ini diberikan pada orang-orang yang berbeda dengan
orang yang normal, yakni orang yang
eksentrik, yang terlalu pintar, yang punya kelebihan, atau yang punya
kekurangan. Untuk bisa membedakan dapur keris yang satu dengan lainnya, orang perlu
lebih dahulu memahami berbagai komponen atau ricikan keris. Tanpa tahu dan
faham benar mengenai ricikan keris, mustahil orang bisa mengetahui atau
menentukan nama dapur keris.
Pamor Keris
SALAH satu aspek penting dalam eksoteri keris selain
dapur, tangguh, perabot, adalah pamor keris. Mengenai sebilah keris pada
umumnya orang akan bertanya, apa dapurnya, apa pamornya, tangguh mana, dan bagaimana
perabotnya. Sebagian orang bahkan menganggap pamor paling penting dari semua
aspek keris yang ada. Kata pamor mengandung dua pengertian. Yang pertama,
menunjuk gambaran tertentu berupa garis, lengkungan, lingkaran, noda, titik, atau
belang-belang yang tampak pada permukaan bilah keris, tombak, dan tosan aji
lainnya. Sedangkan yang kedua, dimaksudkan sebagai jenis
bahan pembuat pamor itu. Motif atau pola gambaran pamor terbentuk pada
permukaan bilah keris karena adanya perbedaan warna dan berbedaan nuansa dari
bahabbahan logam yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan keris, tombak, dan tosan aji
lainnya. Dengan teknik tempa
tertentu, logam bahan baku
keris akan menyatu dalam bentuk lapisan-lapisan tipis, tetapi bukan bersenyawa
atau lebur satu dengan lainnya. Karena adanya penyayatan pada permukaan bilah
keris itu, gambaran pamor pun akan terbentuk. Gambaran pamor ini diperjelas dan diperindah dengan cara mewarangi keris,
tombak, atau tosan aji itu. Setelah terkena larutan warangan, bagian keris yang
terbuat dari baja akan menampilkan warna hitam keabu-abuan, yang dari besi
menjadi berwarna hitam legam, sedangkan yang dari bahan pamor akan menampilkan
warna putih atau abu-abu keperakan. Teknik
tempa dalam pembuatan senjata berpamor ini
merupakan ketrerampilan khas Indonesia,
terutama Pulau Jawa. Bahkan seni pamor
itu mungkin bisa dibilang penemuan orang Indonesia. Tidak ada bangsa lain
selain Indonesia
yang dalam catatan sejarah kebudayaannya mengenal seni
tempa senjata berpamor, sebelum abad ke-10.
Asal Mula Pamor Tidak ada data tertulis yang pasti
mengenai kapan orang Indonesia
(Jawa) menemukan teknik tempa
senjata berpamor. Namun jika dilihat bahwa sebagian bilah keris Jalak Buda
sudah menampilkan gambaran pamor, bisa diperkirakan pamor dikenal bangsa Indonesia
setidaknya pada abad ke-7. Pamor yang mereka kenal itu terjadi karena ketidaksengajaan,
dengan mencampur beberapa macam bahan besi dari daerah galian yang berbeda.
Perbedaan komposisi unsur logam pada senyawa besi yang mereka pakai sebagai
bahan baku
pembuatan keris itulah yang menimbulkan
nuansa warna yang berbeda pada permukaan bilahnya, sehingga menampilkan
gambaran pamor. Keris dan tombak tangguh Jenggala sudah menampilkan rekayasa pamor
yang amat indah dan mengagumkan. Jelas pamor itu bukan berasal dari
Ketidaksengajaan, melainkan karena teknik
tempa dan rekayasa si empu. Inilah yang
menimbulkan tanda tanya, apakah
Jenggala dalam perkerisan sama dengan Jenggala dalam ilmu sejarah? Mengapa
budaya masyarakat di kerajaan yang berdiri pada abad ke-11 itu sudah terampil
membuat rekayasa seni pamor?
Bahan Pamor
Selain menunjuk pada pengertian tentang pola
gambarannya, pamor juga dimaksudkan menunjuk pengertian mengenai bahan pembuat pamor
itu. Ada empat
macam bahan pamor yang acapkali digunakan dalam pembuatan keris, dan tosan aji
lainnya. Dari yang empat itu, tiga di antaranya adalah bahan alami, sedangkan
bahan pamor yang keempat adalah unsur logam nikel
yang telah dimurnikan oleh pabrik. Bahan
pamor yang tertua adalah bahan keris dari dua atau beberaoa senyawa besi yang
berbeda. Senyawa besi yang berbeda komposisi unsur-unsurnya itu, tentunya
didapat dari daerah yang berbeda pula. Dari bahan pamor ini,
pamor yang terjadi dinamakan pamor sanak. Bahan pamor lainnya adalah batu
bintang atau batu meteor. Penggunaan bahan meteorit untuk bahan pamor bukan
hanya dilakukan oleh para empu di Pulau Jawa, juga di daerah lain di Indonesia.
Badik batu dan mandau batu, misalnya, dibuat oleh orang Sulawesi dan Kalimantan. Di Sulawesi selain batu bintang atau batu
meteor, ada bahan pamor lain yang banyak terdapat di daerah Luwu. Bahan pamor
dari Luwu ini kemudian menjadi
komoditi dagang antarpulau, bahkan juga dikenal dan diperdagangkan di
Singapura, Semenanjung Malaya, dan Thailand. Mereka mengenalnya
sebagai pamor Luwu atau bassi pamoro. Jenis
bahan pamor yang terakhir adalah nikel.
Dulu, beberapa puluh
tahun yang lalu, nikel
lebih sering dijumpai sudah bercampur dengan unsur logam lainnya, biasanya
dengan besi. Tetapi kini, tahun
2000, mudah didapat nikel murni yang dijual kiloan.
Dari empat macam bahan pamor itu, batu meteorlah yang
terbaik, karena bahan itu mengandung titanium
yang banyak memiliki kelebihan dibandingkan dengan bahan pamor lainnya.
Jenis-jenis Pamor Keris
Ditinjau dari teknik
pembuatannya, dikenal adanya dua macam pamor, yakni
pamor mlumah dan pamor miring. Dibandingkan dengan pamor miring, pamor mlumah
relatif lebih mudah pembuatannya, dan resiko gagalnya lebih kecil. Itulah
sebabnya rata-rata nilai mas kawin
(harga) keris berpamor mlumah lebih rendah dibandingkan keris yang berpamor
miring. Ditinjau dari bagaimana terjadinya pamor itu, macam-macam motif pamor
dibagi dalam dua golongan besar, yakni
pamor tiban atau pamor jwalana, dan pamor rekan atau pamor anukarta. Yang
digolongkan pamor tiban adalah jenis
motif atau pola gambaran pamor yang bentuk gambarannya tidak direncanakan
dahulu oleh si empu.
Gambaran pola
pamor yang terjadi bukan karena diatur atau direkayasa
oleh Sang Empu, dianggap sebagai anugerah Tuhan. Pola pamor golongan ini di antaranya, Wos Wutah, Ngulit Semangka, Sumsum
Buron, Mrutusewu, dan Tunggak Semi. Sedangkan yang digolongkan pamor rekan,
adalah pamor yang pola gambarannya dirancang atau direkayasa lebih dahulu oleh
Sang Empu. Termasuk jenis ini di antaranya, pamor Adeg, Lar Gangsir, Ron Genduru,
Tambal, Blarak Ngirid, Ri Wader, dan Naga Rangsang. Penamaan dan Simpangsiurnya
Nama Pamor. Karena ragam pola gambaran pamor jumlahnya banyak sekali, untuk membedakan
pola satu dengan lainnya, tiap motif pamor itu diberi nama. Ada dua cara pemberian nama pamor dalam dunia perkerisan di Pulau Jawa.
Pertama, dengan melihat hasil akhir penampilan pamor
yang tampak. Jadi, jika gambar pamor itu mirip dengan kulit semangka, pamor itu
disebut Ngulit Semangka, walaupun mungkin Sang Empu bukan berniat membuat pamor Ngulit Semangka, tetapi Wos
Wutah. Kedua, dengan memperkirakan niat
Sang Empu. Misalnya, jika si empu diperkirakan berniat
akan membuat pamor Ri Wader, ternyata jadinya mirip dengan gambaran pamor
Mayang Mekar, maka pamor itu tetap dinamakan pamor Ri Wader, tetapi gagal.
Karena kegagalan itu, nama pamor itu ditambah dengan kata 'wurung' sehingga
menjadi Ri Wader Wurung. Tetapi penamaan cara yang kedua ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar
memahami teknik pembuatan pamor.
Orang kebanyakan, yang bukan pakar - jelas akan memakai cara penamaan pamor
yang pertama. Yang juga membingungkan, adanya perpedaan penyebutan nama pamor.
Contohnya, pamor Lawe Setukel, ada yang menyebut Benang Satukel atau Lawe
Saukel, atau Benang Saukel. Ada
lagi, Blarak Sinered, Blarak Ginered, atau Blarak Ngirid. Ada lagi, Melati Rinonce atau Melati
Rinenteng atau Melati Sato-or. Dan, masih banyak lagi kesimpangsiuran semacam
itu. Yang lebih parah dari itu, misalnya: Pamor Sada Saler atau Adeg Siji. Namanya
beda, tapi pola pamornya yang itu-itu juga. Perbedaan nama ini makin jauh lagi, karena nama Sada Saeler
disalahucapkan menjadi Sada Jaler, dan kemudian menjadi Sada Lanang. Dan yang
agak menggelikan nama Sada Saeler ditulis oleh orang Belanda dengan ejaan Sadasakler,
kemudian nama itu diterjemahkan menjadi sadasa kleur yang artinya 'sepuluh
warna'. Ini karena kata kleur yang
berasal dari bahasa Belanda memang berarti warna.
Istilah-istilah Mengenai Pamor
Dalam buku-buku lama mengenai keris sering dijumpai
berbagai istilahuntuk menggambarkan keadaan dan penampilan pamor. BahasaJ awanya:
Wujud semuning pamor. Istilah-istilah
itu pada umumnya kurang begitu dikenal orang yang hidup pada masa kini. Di antaranya adalah:
1. Pamor yang mrambut, merupakan istilah penilaian pamor melalui kesan rabaan (grayangan - Jw.)
- yakni pamor yang jika diraba
dengan ujung jari rasanya seperti meraba rambut, Munculnya pamor semacam itu
pada permukaan bilah keris bagaikan susunan helaian rambut, atau seperti
serat-serat yang halus dan lembut.
2. Pamor yang ngawat, juga berkaitan dengan kesan
rabaan seperti di atas, tetapi rasa rabaannya tidak sehalus pramor yang
mrambut, - melainkan seolah-olah seperi rabaan jajaran kawat yang lembut.
3. Pamor yang nggajih merupakan istilah penilaian pamor melalui kesan penglihatan, yakni pamor yang tampak seperti lemak beku menempel di
permukaan bilah keris. Keris atau tosan aji yang pamornya nggajih biasanya
adalah keris yang bermutu rendah atau yang sering disebut keris rucahan. Keris
semacam itu jika dijentik (dithinthing - Jw.) biasanya tidak berdenting.
4. Pamor mbugisan adalah istilah penilaian pamor melalui kesan penglihatan dan rabaan.
Permukaan bilah keris yang pamornya tergolong mbugisan rabaannya halus,
sedangkan gradasi berbedaan warna antara besinya yang hitam dan pamornya yang
putih keperakan tidak nyata terlihat, tidak kontras.
5. Pamor yang nyanak adalah istilah untuk pamor Sanak
atau pamor peson, merupakan istilah penilaian
pamor menurut kesan penglihatan dan rabaan. Alur-alur pola gambaran pamor ini tidak jelas, tak kontras, tetapi rabaannya sangat
terasa, agak kasar. Keris berpamor sanak biasanya dibuat dari bahan pamor yang
berupa mineral besi yang didapat dari daerah lain. Jika dijentik, keris dengan
pamor sanak tidak berdenting nyaring.
6. Pamor yang kelem, yang yang penampillannya cukup
jelas, cukup kontras, tetapi sedemikian rupa sehingga seolah yang terlihat ini hanya sebagian kecil dari keseluruhan pamor.
Seolah sebagian terbesar dari pamor itu 'tengelam' di dalam badan bilah. Pamor
yang kelem itu jika diraba akan terasa lumer atau halus dan lembut.
7. Pamor yang kemambang adalah kebalikan dari pamor
yang kelem. Pamor ini memberi kesan
seolah bagian pamor yang tertanam di badan bilah hanya sedikit saja. Jika
diraba, pamor kemambang juga memberikan kesan lumer dan halus.
8. Pamor yang ngintip adalah istilah penamaan pamor
yang sangat kasar perabaannya, malahan kadang-kadang di beberapa bagian terasa tajam.
Pamor yang ngintip ini bisa terjadi
karena dua sebab. Pertama si empu boros atau dermawan (loma- Jw.) terhadap
bahan pamor yang digunakannya, sehingga jumlah bahan pamor yang digunakan
berlebihan. Bisa juga terjadi karena ketidaksengajaan,
yakni untuk memberikan kesan wingit
pada keris itu. Sebab yang kedua adalah si empu menggunakan bahan pamor bermutu
tinggi, tetapi besi yang digunakan mutunya kurang baik, sehingga besi itu cepat
aus. Sewaktu besinya sudah aus, sedangkan pamor tidak, maka pamor itu akan
'muncul' di permukaan bilah secara berlebihan.
9. Pamor yang mubyar yakni
pamor yang tampak cerah, cemerlang, dan kontras dengan warna besinya. Walaupun
warnanya kontras, namun jika diraba akan terasa lumer, halus. Selain
istilah-istilah yang di atas, untuk menilai
pamor orang juga mengamati kondisi tertanamnya pamor pada badan bilah keris
atau tosan aji lainnya. Menurut istilah Jawa, kondisi itu disebut tancebing atau
tumancebing pamor.
Tancebing atau kondisi tertancapnya pamor pada badan
bilah ada dua macam, yakni pandes
(pandhes), yang tertanamnya pamor seolah dalam dan kokoh; dan kumambang, yaitu
yang seolah-olah mengambang atau mengapung di permukaan bilah.
Tuah dan Perlambang
Banyak penggemar keris yang mengkaitkan nama dan motif
pamor dengan tuah keris atau tombaknya. Untuk mengetahui sebuah keris atau
tombak itu baik atau tidak tuahnya, orang lebih dahulu akan mengamati jenis motif pamornya. Begitu pula jika orang ingin
tahu apa tuah atau manfaat keris itu, yang pertama kali dilihat adalah pamornya.
Itulah sebabnya, mengapa di kalangan penggemar keris timbul istilah ‘membaca
pamor’. Mereka menganggap bahwa tuah keris dapat dibaca dari pamornya. Anggapan
itu tidak bisa disalahkan. Soalnya, seandainya pamor itu termasuk jenis pamor tiban, gambaran yang muncul dianggap
sebagai pratanda dari Tuhan mengenai isi dan tuah keris itu. Jadi, motif atau pola
yang tergambar pada pamor itu dianggap sebagai petunjuk untuk memperkirakan
baik buruknya keris itu, sekaligus juga memperkirakan tuah apa yang terkandung
di dalamnya.Kalau motif pamor itu tergolong pamor rekan, maka pamor itu akan direka
oleh Sang Empu sedemikian rupa sehingga bentuk gambarannya sesuai dengan niat empu, yang dirupakan dalam doa adan mantera yang
diucapkannya. Misalnya, jika Sang Empu menginginkan keris buatannya mempermudah
si pemilik untuk mencari rezeki, ia akan membuat pamor Udan Mas, Pancuran Mas,
Tumpuk, atau Mrutu Sewu. Tetapi jika si empu ingin agar keris buatannya bisa
menambah kewibawaan pemiliknya, empu itu akan membuat keris dengan pamor Naga Rangsang, Ri
Wader, Raja Abala Raja, dan yang sejenis
dengan itu.
Gambaran motif pamor adalah perlambang harapan.
Harapan Sang Empu, sekaligus juga harapan si pemilik keris. Kira-kira sama
halnya dengan gambaran rajah penolak bala. Atau mungkin serupa pula dengan
gambaran Patkwa yang oleh masyarakat keturunan Cina dipercayai memiliki tuah
sebagai penolak bala. Mungkin mirip juga dengan kepercayaan sebagian orang
Eropa yang menganggap bentuk ornamen ladam kuda (sepatu kuda) sebagai bentuk yang
dianggap bisa mengusir setan dan roh jahat. Dalam budaya Jawa - mungkin juga
dibilang budaya Indonesia,
bentukbentuk tertentu membawa perlambang maksud dan harapan tertentu pula. Bentuk
bulatan, lingkaran, garis lengkung, atau gambaran yang memberikan kesan lumer,
kental, tidak kaku, melambangkan kadonyan atau kemakmuran duniawi, kekayaan, rejeki, keberuntungan, pangkat, dan
yang semacam dengan itu. Bentuk gambaran garis yang menyudut,
segi, patahan, seperti segi tiga, segi empat, dan yang
serupa dengan itu, dianggap sebagai lambang harapan akan ketahanan atau daya tangkal
terhadap godaan, gangguan, serangan, baik secara fisik maupun nonfisik. Jika
gambaran itu dirupakan dalam bentuk pamor, itu melambangkan harapan akan
kesaktian dan kadigdayan.
Bentuk garis lurus yang membujur atau melintang, atau
diagonal, dipercaya sebagai lambang harapan akan kemampuan untuk mengatasi atau
menangkal segala sesuatu yang tidak diharapkan. Pamor yang serupa itu dianggap
dapat diharapkan kegunaannya untuk menolak bala, menangkal guna-guna dan
gangguan makhluk halus, menghindarkan bahaya angin ribut dan badai, terhindar
dari gangguan binatang buas dan binatang berbisa. Misalnya, pamor Adeg.
Karena itulah, seorang empu sebenarnya juga bisa
dibilang seniman yang memahami
bahasa perlambang, dan menggunakan gambaran pamor sebagai media komunikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar