Kamis, 23 Oktober 2014

KERIS MENEMBUS RUANG DAN WAKTU

Dalam dunia perkerisan, riwayat para empu hampir selalu merupakan
kisah yang menarik, dan merupakan legenda yang dituturkan turun
menurun. Berikut ini adalah kisah empu-empu ternama dalam sejarah
perkerisan di Pulau Jawa.
Empu Pangeran Sedayu
Menurut cerita rakyat, di masa mudanya bernama Supa Mandrangi.
Karena ketekunannya, ia menjadi empu yang mahir. Keris-keris
buatannya selalu indah dan disukai banyak orang. Karena itu Supa
Mandrangi dan adiknya yang bernama Supagati berniat untuk
mengabdi pada Keraton Majapahit.
Kebetulan sewaktu ia datang ke keraton, saat itu Majapahit sedang
geger. Pusaka kerajaan yang bernama Kanjeng Kyai Sumelang
Gandring hilang dari tempat penyimpanannya di Gedong Pusaka. Ki
Supa Mandrangi lalu dipanggil menghadap raja. Sang Raja bertitah,
jika Empu Supa sanggup menemukan kembali keris Kanjeng Kyai
Sumelang Gandring, maka raja akan berkenan menerima
pengabdiannya di Keraton Majapahit, dan akan dianugerahi berbagai
macam hadiah. Ki Supa menyatakan kesanggupannya.
Setelah memohon petunjuk Tuhan, empu muda itu bersama adiknya
berjalan ke arah timur, sesuai dengan firasat yang diterimanya.
Selama dalam perjalanan Ki Supa menggunakan nama Empu Rambang.
Nama ‘rambang’ berasal dari kata ‘ngelambrang’ yang artinya
berjalan tanpa tujuan yang pasti. Beberapa bulan kemudian sampailai
ia di Kadipaten Blambangan. (Sumber lain menyebutkan, sebelum Ki
Supa alias Ki Rambang sampai di Blambangan, lebih dulu ia mampir ke
Madura untuk menuntut ilmu pada empu Ki Kasa. Tetapi sumber yang
lain lagi mengatakan bahwa Ki Kasa juga merupakan nama samaran
atau nama alias Ki Supa).
Di Kadipaten Blambangan, lebih dahulu Ki Supa Mandrangi menjumpai
Ki Luwuk, empu senior yang menjadi kesayangan Sang Adipati Menak
Dadali Putih. Berkat jasa baik Ki Luwuk, akhirnya Ki Supa bisa
diterima menghadap adipati itu. Pada saat itu Ki Supa mengaku
bernama Pitrang, dan menyatakan ingin mengabdi pada Sang Adipati.
Ketika beberapa waktu kemudian Adipati Blambangan tahu hasil
kerjanya, ia menyuruh Ki Pitrang membuat putran (duplikat) sebilah
keris lurus yang indah. Setelah mengamati keris yang harus dibuatkan
duplikatnya itu, Ki Pitrang segera tahu bahwa itulah keris Kanjeng
Kyai Sumelang Gandring yang hilang dari Kerajaan Majapahit.
Ki Pitrang alias Ki Supa menyanggupi membuat putran keris itu dalam
waktu 40 hari, dengan satu syarat, yaitu agar selama ia membuat
keris putran itu, tidak seorang pun boleh memasuki besalen -nya.
Adipati Blambangan menyanggupi syarat itu, bahkan ia akan
menempatkan beberapa prajurit di sekitar besalen empu Pitrang, agar
jangan ada orang yang masuk mengganggu kerjanya.
Di besalen-nya, Ki Supa bekerja hanya dibantu oleh adiknya, Ki
Supagati, yang bertindak sebagai panjak-nya. Dalam waktu 40 hari itu
Ki Supa bukan membuat sebilah, melainkan dua bilah keris putran,
yang bentuk dan rupanya sama benar dengan keris Kanjeng Kyai
Sumelang Gandring.
Setelah pekerjaan itu selesai, KK Sumelang Gandring yang aseli
disembunyikan di balik kain di paha kirinya. Sedangkan kedua keris
putran yang dibuatnya dibahwa menghadap Adipati Blambangan, dan
diakukan sebagai keris yang putran dan yang aseli.
Karena sama bagusnya, sama indahnya, Adipati Blambangan tidak bisa
lagi membedakan kedua keris itu. Mana yang aseli, dan mana yang
putran. Padahal sebenarnya kedua keris itu merupakan keris putran.
Adipati Dadali Putih amat gembira melihat hasil karya Empu Pitrang.
Karenanya, empu muda itu lalu dinikahkan dengan salah seorang adik
perempuannya, dan diberi banyak hadiah.
Beberapa bulan kemudian Empu Pitrang berpamitan hendak pulang ke
Majapahit. Ia berpesan pada istrinya yang sudah hamil, agar jika
anaknya lahir kelak, jika laki-laki, agar diberi nama Jaka Sura. Setelah
cukup besar, agar anak itu disuruh menyusulnya ke Majapahit. (Baca
juga Jaka Sura, Empu).
Betapa gembira Raja Majapahit ketika ternyata Ki Supa berhasil
menemukan dan mengembalikan keris pusaka keraton, Kanjeng Kyai
Sumelang Gandring. Karena dianggap berjasa besar bagi kerajaan,
Empu Ki Supa Mandrangi kemudian dinikahkan dengan salah seorang
putrinya dan diangkat menjadi pangeran, serta diberi tanah perdikan
(bebas pajak, otonom) di daerah Sedayu. Maka sejak itu Ki Supa lebih
dikenal sebagai Empu Pangeran Sedayu. Itu pula sebabnya, mengapa
keris buatan Ki Supa hampir serupa dengan keris buatan Pangeran
Sedayu.
Walaupun telah hidup mulia sebagai pangeran dan kaya raya berkat
kedududkannya sebagai penguasa tanah perdikan, Pangeran Sedayu
masih tetap membuat keris. Bahkan keris buatannya makin indah,
makin anggun.
Adapun keris buatan Pangeran Sedayu dapat ditandai dengan
mengamati ciri-ciri sebagai berikut:
Ganjanya datar atau ganja wuwung, gulu meled-nya berukuran
sedang, tetapi penampilannya memberi kesan kekar dan kokoh.
Buntut cecak-nya berbentuk ambuntut urang atau mekrok. Jika
membuat keris luk, maka loknya tergolong luk yang rengkol, atau
sarpa lumampah.
Posisi bilah pada ganja agak tunduk, tidak berkesan galak, tetapi
anggun berwibawa. Kembang kacang-nya dibuat ramping nggelung
wayang. Sogokan-nya agak melengkung di bagian ujung, menyerupai
paruh burung. Janur-nya serupa lidi. Tikel alis-nya tergurat jelas.
Begitu pula ron da-nya juga dibuat jelas.
Keris buatan Pangeran Sedayu selalu matang tempaan, besinya
berwarna hitam kebiruan, nyabak, dan berkesan basah. Pamornya
lumer pandes dan hampir selalu merupakan pamor tiban. Bahkan
terkadang tanpa pamor sama sekali, yakni yang disebut keris
kelengan. Besi keris tangguh Pangeran Sedayu ini demikian prima,
tahan karat, bahkan banyak di antaranya cukup diwarangi lima tahun
sekali.
Secara keseluruhan penampilan keris buatan Pangeran Sedayu
membawakan karakter seorang ksatria yang anggun, berwibawa,
tetapi tidak galak, wingit, tetapi menyenangkan.
Pendek kata, segalanya dibuat serasi. Seluruh bagian keris termasuk
ricikan-nya digarap dengan cermat, rapi, ayu, dan sempurna. Begitu
rapinya keris buatan Pangeran Sedayu, sampai sampai tepi bagian
sogokan-nya berkesan tajam. Oleh kebanyakan pecinta keris, buatan
Pangeran Sedayu dianggap sebagai keris yang paling sempurna dari
semua keris yang ada.
Salah satu tanda yang mencolok dari keris buatan Empu Pangeran
Sedayu adalah besinya yang selalu merupakan jenis pilihan, dan
matang wasuhan.
Selain tetap berkarya sebagai empu, Pangeran Sedayu juga mendidik
orang-orang di daerahnya yang berminat belajar menjadi empu. Mulamula
mereka dijadikan panjak, dan setelah mahir disuruh membuat
keris sendiri. Akhirnya para panjak itu pun dapat mandiri bekerja
sebagai empu. Hasil karya mereka oleh orang yang hidup masa kini
disebut keris Panjak Sedayu, yang kualitasnya hampir menyamai keris
buatan Pangeran Sedayu.
Jaka Sura
Disebut pula Empu Adipati Jenu, sebuah wilayah dekat Jipang di
daerah perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Ia diperkirakan
hidup menjelang akhir zaman Majapahit.
Keris buatannya dapat ditandai dengan memperhatikan ciri-ciri
sebagai berikut :
Ganjanya rata, gulu meled-nya sempit, sirah cecak-nya lonjong.
Kalalu membuat kembang kacang bentuknya kokoh bagaikan kuku
bima, blumbangan-nya dalam, guratan tikel alis-nya jelas, sogokannya
panjang, janurnya meruncing di ujungnya. Kalau Empu Jaka Sura
membuat ron da, bentuknya jelas dan runcing ujungnya.
Bilah keris buatan Empu Jaka Sura agak tebal, penampilannya
meyakinkan. Kalau membuat pamor ruwet (muyeg - Bhs. Jawa).
Secara keseluruhan keris buatan Empu Jaka Sura menampilkan
karakter berwibawa, terampil, gagah, dan meyakinkan.
Kakak Jaka Supa
Jaka Sura sesungguhnya adalah kakak tiri Empu Jaka Supa, sedangkan
ayahnya bernama Supa Mandrangi yang kemudian dikenal sebagai
Pangeran Sedayu. Ia lahir di Blambangan, ibunya adalah putri
bangsawan kerabat Adipati Blambangan.
Ketika menjelang remaja, Jaka Sura bertanya pada ibunya, siapa dan
dimana ayahnya. Si ibu mengatakan, ayah Jaka Sura adalah seorang
empu yang pernah mengabdi pada Kadipaten Blambangan. Sebelum
Jaka Sura lahir, sang Ayah harus kembali ke Majapahit. Sebelum pergi
sang Ayah berpesan, agar jika anak yang lahir nanti laki-laki, diberi
nama Jaka Sura. Dan, kalau anak itu sudah dewasa, agar pergi
menyusulnya ke Majapahit.
Sesudah mendengar penjelasan dari ibunya, Jaka Sura lalu belajar
membuat keris. Ia banyak sekali membuat keris sajen - yang biasanya
dibutuhkan oleh para petani masa itu untuk sesaji sawahnya. Keris
sajen dalam jumlah besar itulah yang dibawanya sebagai bekal
perjalanan ke Majapahit. Agar lebih mudah membawanya, keris sajen
yang ukurannya cuma sejengkal itu dilubangi pesi-nya, seperti lubang
jarum jahit tangan. Pada lubang itu dimasukkan tali. Cara ini,
menurut bahasa Jawa disebut direntengi.
Sepanjang perjalanan dari Blambangan ke Majapahit, ia banyak
bertanya pada petani yang dijumpainya, manakah arah jalan menuju
Majapahit. Sebagai terima kasih atas bantuannya menunjukkan arah,
ia menghadiahkan keris sajen buatannya pada para petani itu.
Dulu, para petani umumnya percaya, tuah keris sajen karya Empu
Jaka Sura ini berkhasiat untuk menyuburkan tanaman dan menangkal
serangan hama tanaman. Bahkan sampai sekarang (akhir abad ke-20)
sebagian petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur masih mempercayai
hal tersebut.
Menjelang sampai di Ibukota Majapahit, Jaka Sura menghentikan
perjalanannya untuk membuat sebilah pedang. Rencananya pedang
itu akan dijadikan buah tangan untuk ayahnya, agar ayahnya tahu
bahwa ia juga mewarisi bakat menjadi empu.
Sesampainya di Majapahit Jaka Sura ternyata ditolak ketika hendak
masuk ke keraton. Penjelasan yang diberikan oleh empu muda itu
tidak dihiraukan oleh para prajurit penjaga pintu gerbang. Karena
kesal Jaka Sura lalu menghantamkan pedang buatannya pada pintu
gerbang itu sehingga pecah berantakan. Keributan itu menyebabkan
Raja Majapahit keluar dan menanyakan apa yang terjadi.
Sesudah mendengar laporan dari prajurit penjaga dan juga dari
Jakasura, raja itu memberi tahu bahwa ayahnya telah diangkat
menjadi Pangeran, dan tinggal di daerah Sedayu. Setelah mendapat
penjelasan itu Jaka Sura lalu mohon diri dan segera berangkat ke
Sedayu. Sang Raja juga menugasi Empu Salahita sebagai penunjuk
jalan.
Pedang yang ditinggalkan Jaka Sura kemudian dijadikan pusaka
Kerajaan Majapahit, dan diberi nama Kanjeng Kyai Lawang. Kata
lawang artinya pintu, karena mengingat bahwa kesaktian pedang itu
telah menghancurkan pintu gerbang Majapahit. Kini, Kyai Lawang
menjadi salah satu pusaka Keraton Kasunanan Surakarta.
Sesampainya di Sedayu, Empu Salahita langsung membawa Jaka Sura
ke besalen (bengkel kerja) milik Pangeran Sedayu, bukan ke
rumahnya, karena mengira sang pangeran sedang berada di besalennya.
Waktu itu di besalen itu para panjak sedang ramai bekerja di
bawah pimpinan Empu Ki Jebat, karena Pangeran Sedayu sedang
melakukan tapa brata.
Setelah Jaka Sura diperkenalkan dengan Ki Jebat, tangan kanan
Pangeran Sedayu itu bercerita bahwa sang pangeran saat itu sedang
gundah hatinya. Soalnya, Pangeran Sedayu mendapat perintah dari
raja untuk membuat keris dapur baru yang akan digunakan sebagai
pusaka andalan Majapahit, karena pusaka yang terdahulu, yaitu
Kanjeng Kyai Sumelang Gandring, pernah dicuri oleh Adipati
Blambangan.
Sudah berhari-hari Pangeran Sedayu melakukan tapa brata, tetapi
bentuk dapur keris yang baru itu belum juga terbayangkan.
Setelah mendengar penjelasan Ki Jebat, Jaka Sura segera
mengeluarkan besi sisa peninggalan ayahnya ketika di Blambangan
dulu. Besi sisa itu lalu dibakarnya di perapen, dan kemudian
ditempanya. Tanpa lelah ia terus bekerja, sehingga akhirnya jadilah
sebuah keris dengan dapur baru yang indah. Semua orang yang
menyaksikan di besalen itu kagum.
Ki Jebat lalu bertanya pada Jaka Sura, dapur apakah keris yang baru
dibuatnya itu. Jaka Sura mengatakan, tidak tahu karena ia hanya
bekerja berdasarkan ilham yang muncul tiba-tiba saat itu. Setelah
menyerahkan keris itu pada Ki Jebat, Jaka Sura lalu pergi ke kali
untuk membersihkan diri.
Sementara itu Pangeran Sedayu datang ke besalen dengan wajah
muram. Ia masih merasa sedih karena belum juga mendapat ilham
mengenai dapur keris yang akan dibuat. Saat itulah Ki Jebat
memperlihatkan keris buatan Jaka Sura.
Betapa gembira hati Pangeran Sedayu melihat keris yang indah itu. Ia
bertambah gembira lagi ketika tahu bahwa yang membuatnya adalah
Jaka Sura, anaknya sendiri, yang lahir setelah ia meninggalkan
Blambangan.
Pangeran Sedayu yakin, Sang Raja tentu akan berkenan menerima
keris indah itu sebagai pusaka keraton. Karena itu ia segera mengajak
anaknya menghadap raja di Keraton Majapahit.
Benarlah dugaan Pangeran Sedayu. Raja amat senang dengan keris
itu, tetapi juga bingung ketika Pangeran Sedayu dan Jaka Sura
memintakan nama bagi dapur keris baru itu. Akhirnya, setelah
berpikir sejenak, raja menamakan dapur keris itu: Kanjeng Kyai
Sengkelat.
Nama Sengkelat berasal dari kata ‘sengkel’ yang artinya bingung dan
kesal karena kehabisan akal. Saat itu raja Majapahit memang sedang
kehabisan akal untuk mencarikan nama dapur yang merupakan
perpaduan antara keris dapur Carita dengan dapur Parung itu.
Pangeran Sedayu lalu membawanya menghadap raja, untuk memohon
agar Jaka Sura diperkenankan mengabdi pada kerajaan. Permohonan
dikabulkan, dan karena keris-keris hasil karyanya memuaskan raja,
beberapa tahun kemudian Jaka Sura dianugerahi tanah perdikan,
yaitu tanah bebas pajak, di daerah Jenu. Selain itu Jaka Sura juga
diangkat sebagai adipati di daerah itu. Maka, Jaka Sura kemudian
lebih dikenal sebagai Empu Adipati Jenu.
Banyak penggemar keris yang mengira bahwa hasil karya Empu Jaka
Sura hanya berupa keris sajen. Padahal keris sajen itu hanyalah keris
yang dibuat untuk petani guna keperluan sesaji sawah mereka.
Empu Ki Jigja
Terkenal sebagai salah seorang empu pada zaman Kerajaan Majapahit.
Ia adalah anak dari Empu Singkir alias Empu Angga, empu terkenal
dari Pajajaran. Adiknya, Ki Empu Surawisesa juga menjadi empu,
tetapi tidak bekerja bagi Kerajaan Majapahit, melainkan untuk
Kadipaten Blambangan. Menurut buku-buku kuno, jari jempol tangan
kirinya berwujud kepala ular.
Keris buatannya tidak banyak, tetapi semuanya merupakan keris indah
dan sakti.
Tanda-tanda keris buatan Empu Jigja adalah, panjang bilahnya sedang
(menurut ukuran rata-rata keris tangguh Majapahit), tetapi
menampilkan kesan kekar, namun luwes. Sogokan dan blumbangannya
dalam, kembang kacang-nya kokoh. Greneng atau ri pandan keris
buatannya jelas dan relatif besar.
Kadang-kadang, kalau membuat kembang kacang Empu Jigja 'berani'
keluar dari pakem. Beberapa keris yang menurut pakem memakai
kembang kacang biasa, oleh Empu Jigja dibuat kembang kacang
pogok. Walaupun demikian, keris yang seperti itu tetap saja manis
dan serasi.
Besi keris buatan Empu Jigja ada dua macam. Yang pertama besi itu
berkesan kering dan madas. Warna besi itu hijau kecoklatan (serupa
tlethong, warna tahi kerbau). Jenis besi ini amat sukar termakan
karat. Dan, bilamana diputihkan, dibersihkan sebelum diwarangi, besi
keris yang kehijauan itu berbau ramuan rempah wangi jamu.
Sedangkan jenis besi yang kedua yang digunakan Empu Jigja adalah
yang berwarna hitam ngelar glatik, Nglugutnglugut, pamornya ngawat
ngembang bakung.
Empu Modin
Adalah nama lain dari Empu Bekeljati, adalah seorang empu dari
daerah Tuban yang hidup pada akhir zaman Majapahit.
Keris hasil karyanya berukuran sedang panjangnya, tetapi agak tebal
dan lebar. Dibandingkan dengan keris tangguh Tuban lainnya, karya
empu Modin lebih tunduk ke depan. Besinya tampak keras dan kenyal,
berwarna keabu-abuan, memberi kesan 'mentah'. Pamor yang sering
digunakan adalah Wos Wutah dan Ngulit Semangka.
Keris buatan Empu Modin kebanyakan merupakan keris lurus, dengan
dapur Tilam Upih atau Brojol. Kalau membuat keris luk, maka luknya
kemba. Kesan penampilan keris itu keras dan lugas.
Pengikut Sunan Bonang
Tentang mengapa Empu Bekeljati kemudian lebih populer dengan
sebutan Empu Modin, manuskrip Serat Pratelan Bab Duwung yang
ditulis R. Moestopo Pringgohardjo pada tahun 1961, menyebutkan:
Pada saat Empu Bekeljati berkarya, agama Islam baru mulai
berkembang di daerah tempat tinggalnya. Yang menjadi pemimpin
mesjid Tuban di kala itu adalah Sunan Bonang, yang bukan hanya
dikenal sebagai ulama, juga sebagai orang yang memiliki banyak
kesaktian.
Empu Bekeljati yang semula beragama Hindu, kemudian menjadi salah
seorang pengikut dan murid Sunan Bonang. Karena ketekunannya
mempelajari agama, Empu Bekeljati menjadi kesayangan gurunya.
Dan, karena lantang suaranya, dan fasih lafalnya, Sunan Bonang lalu
menugasi Empu Bekeljati menjadi mua'zin atau penyeru azan. Dalam
logat Jawa, kata mua'zin sering diucapkan mua'din, dan lama
kelamaan menjadi modin. Begitulah, sejak saat itu Bekeljati lebih
dikenal dengan sebutan Empu Modin.
Bagi mereka yang percaya akan tuah, keris buatan Empu Modin
dikenal sebagai keris yang memiliki angsar sabar, pemaaf, membuat
pemiliknya menjadi luwes dalam pergaulan dan disayang orang
sekelilingnya. Selain itu, keris karya Empu Modin juga bisa diharapkan
mempermudah pemiliknya mencari rejeki.
Walaupun dibuat orang yang sama, ketika masih dikenal sebagai Empu
Bekeljati, keris buatannya lebih ramping dibandingkan sewaktu ia
sudah dikenal dengan panggilan Empu Modin. Selain itu, keris Empu
Bekeljati tampilan pamornya lebih mubyar. Jika keris itu memakai
luk, maka luknya agak tanggung dan samar (kemba - Jw.). Kembang
kacang-nya mungil, agak kecil dibandingkan dengan ukuran bilahnya.
Sogokan-nya dangkal dan pendek. Bagian janur-nya dibuat tumpul.
Empu Ki Nom
Seorang empu yang terkenal pada zaman Agung Hanyokrokusumo di
Mataram. Beberapa orang tua ahli keris menceritakan bahwa usia Ki
Nom memang panjang sekali. Kata mereka, nama Ki Nom atau
Pangeran Warih Anom, atau Ki Supo Anom justru adalah gelar dan
nama pemberian Sultan Agung sebagai pernyataan kekaguman
terhadap panjangnya umur empu yang terkenal awet muda itu.
Konon, umur Empu Ki Nom lebih dari 100 tahun. Jika cerita-cerita
mengenai dirinya benar, angka 100 itu masuk akal, karena Ki Nom
dilahirkan pada menjelang akhir zaman Majapahit, jadi kira kira tahun
1520 an. Padahal, tatkala Sultan Agung Anyokrokusumo
mempersiapkan penyerangan ke Batavia tahu 1626, Ki Nom masih
mendapat tugas sebagai salah seorang empu tindih, yang
membawahkan 80 orang empu lainnya. Berarti pada saat itu umurnya
sudah 104 tahun!
Empu Supo Anom, yang nama kecilnya Jaka Supa sebenarnya adalah
anak dari Ki Supa Mandrangi atau Pangeran Sedayu, yang hidup pada
akhir zaman Majapahit. Ibunya adalah putri kerabat kraton yang
‘dihadiahkan’ kepada Empu Supa Mandrangi ketika pembuat keris
terkenal itu diangkat sebagai pangeran dengan gelar Pangeran
Sedayu. (Ada cerita rakyat yang menyebutkan bahwa putri keraton itu
bernama Dewi Tatiban). Kakaknya, satu ayah lain ibu, bernama Jaka
Sura, juga seorang empu terkenal. Oleh raja Majapahit terakhir Empu
Jaka Sura diangkat menjadi adipati di daerah Jenu, sehingga juga
dikenal sebagai Empu Adipati Jenu.
Ki Nom sebenarnya hanya singkatan nama atau panggilan bagi Empu
Pangeran Warih Anom yang menguasai tanah perdikan (otonomi &
bebas pajak) di daerah Sendang. Itulah sebabnya ia juga dipanggil
dengan gelar Pangeran Sendang.
Tanda-tanda utama buatan empu Ki Nom adalah: Keris dan tombak
buatan Ki Nom selain indah selalu mempunyai penampilan dan yang
memberi kesan agung, anggun, mewah, berwibawa.
Ganja buatan Ki Nom, kebanyakan merupakan ganja wilut dan kelap
lintah. Sirah cecak-nya montok dan meruncing ujungnya, gulu melednya
besar dan kokoh. Ukuran panjang bilahnya sedang, lebarnya juga
sedang, tetapi tebalnya lebih dibanding keris buatan Mataram lainnya,
terutama dibagian tengah bilah. Bilah buatan Ki Nom selalu berbentuk
nggigir lembu. Motif pamornya biasanya rumit, halus, dan rapat serta
rapi sekali penempatannya. Besi yang digunakan, dua rupa. Bagian
tengah yang bercampur pamor warna besinya hitam keabu-abuan atau
hitam keungu-unguan, tetapi dibagian pinggir hitam legam.
Bagian kembang kacang-nya dibuat seperti gelung wayang, tetapi
berkesan kokoh, dan kalau diamati dari sisi atas akan tampak
ramping. Jalen-nya kecil, lambe gajah-nya pendek. Blumbangan-nya
dangkal, penuh dengan pamor. Sogokan-nya juga dangkal dan
menyempit ke arah ujung. Janur-nya menyerupai batang lidi.
Salah satu keris adikarya hasil tempaan Ki Nom yang masih dapat
disaksikan hingga saat ini adalah keris berdapur Singa Barong yang
dijadikan cenderamata lambang persahabatan antara Kasultanan
Mataram dengan Kesultanan Jambi. Keris itu bernama Si Ginje, dan
saat ini tersimpan di Museum Pusat di Jakarta.
Lebih lengkap, baca: Jaka Supa, Empu.
Tips Memilih Keris yang Baik
Sebenarnya tidak ada pedoman yang jitu untuk memilih keris yang
baik. Sebab setiap orang, mau tidak mau, akan dipengaruhi oleh
subyektifitas pribadinya dalam memilih sesuatu, termasuk keris. Dulu,
di Pulau Jawa nenek moyang kita memberikan pedoman bahwa keris
yang baik harus memenuhi kriteria sepuh, tangguh, wutuh. Tua
umurnya, jelas tangguh-nya, dan utuh barangnya.
Karena criteria ala Jawa itu sulit difahami teman-teman pecinta keris
yang non Jawa, pada tahun 1982 saya membuat kriteria baru yang
saya harapkan lebih mudah dimengerti, yakni Indah, Tua, Utuh,
disingkat ITU. Maksudnya, keris yang baik harus indah, tua, dan utuh.
Tetapi karena sadar bahwa dalam memilih keris seseorang akan
dipengaruhi subyektifitasnya, maka sejak tahun 1996 saya
mengatakan bahwa kritetia Indah, Tua, Utuh dapat dan boleh dibolakbalik
sesuai dengan selera orang yang akan memilih keris itu. Jadi,
kriteria itu dapat menjadi Utuh, Tua, Indah, atau Indah, Utuh, Tua,
bisa juga Indah, Utuh, Tua.
Yang memakai kriteria ITU, biasanya lebih mementingkan keindahan
keris. Soal ketuaannya nomor dua, sedangkan keutuhannya nomor
terakhir. Yang penting indah dulu, soal tua dan utuhnya prioritas
berikutnya.
Yang suka memakai kriteria UTI, biasanya menomorsatukan utuhnya
keris. Soal tua dan keindahannya urusan belakang.
Demikian pula mereka yang menggunakan kriteria IUT, UIT, TUI, atau
TIU, masing-masing memiliki prioritasnya sendiri.
Karena perbedaaan kriteria itulah maka dalam pergaulan sesama
pecinta keris kita melihat adanya teman yang suka mengkoleksi keriskeris
nom-noman yang dibuat setelah zaman Paku Buwono IV atau
zaman Hamengkubuwono I. Ada pula yang suka mengkoleksi keriskeris
tua, walaupun tidak lagi utuh.
Yang jelas, kita semua harus menghormati selera orang lain. Kita
tidak boleh mencela selera orang.
Yang harus kita sayangkan adalah kalau untuk mengejar "ketuaan"
keris maka orang itu lalu mengeroposkan keris dengan merendam di
larutan tertentu; atau untuk mengejar keutuhannya lalu mengikir
atau menggerinda bilah keris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar