Kamis, 23 Oktober 2014

AKU BANGGA DENGAN KERIS INDONESIA



Keris dan tosan aji serta senjata tradisional lainnya menjadi khasanah budaya Indonesia, tentunya setelah nenek moyang kita mengenal besi. Berbagai bangunan candi batu yang dibangun pada zaman sebelum abad ke-10 membuktikan bahwa bangsa Indonesia pada waktu itu telah mengenal peralatan besi yang cukup bagus, sehingga mereka dapat menciptakan karya seni pahat yang bernilai tinggi. Namun apakah ketika itu bangsa Indonesia mengenal budaya keris sebagaimana yang kita kenal sekarang, para ahli baru dapat meraba-raba.

Gambar timbul (relief) paling kuno yang memperlihatkan peralatan besi terdapat pada prasasti batu yang ditemukan di Desa Dakuwu, di daerah Grabag, Magelang, Jawa Tengah. Melihat bentuk tulisannya,  diperkirakan prasasti tersebut dibuat pada sekitar tahun 500 Masehi. Huruf yang digunakan, huruf Pallawa. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Sanskerta.

Prasasti itu menyebutkan tentang adanya sebuah mata air yang bersih dan jernih. Di atas tulisan prasasti itu ada beberapa gambar, di antaranya: trisula, kapak, sabit kudi, dan belati atau pisau yang bentuknya amat mirip dengan keris buatan Nyi Sombro, seorang empu wanita dari zaman Pajajaran. Ada pula terlukis kendi, kalasangka, dan bunga teratai.

Kendi, dalam filosofi Jawa Kuno adalah lambang ilmu pengetahuan, kalasangka melambangkan keabadian, sedangkan bunga teratai lambang harmoni dengan alam.

Beberapa Teori

Sudah banyak ahli kebudayaan yang membahas tentang sejarah keberadaan dan perkembangan keris dan tosan aji lainnya. G.B. GARDNER pada tahun 1936 pernah berteori bahwa keris adalah perkembangan bentuk dari senjata tikam zaman prasejarah, yaitu tulang ekor atau sengat ikan pari dihilangkan pangkalnya, kemudian dibalut dengan kain pada tangkainya. Dengan begitu senjata itu dapat digenggam dan dibawa-bawa. Maka jadilah sebuah senjata tikam yang berbahaya, menurut ukuran kala itu.

Sementara itu GRIFFITH WILKENS pada tahun 1937 berpendapat bahwa budaya keris baru timbul pada abad ke-14 dan 15. Katanya, bentuk keris merupakan pertumbuhan dari bentuk tombak yang banyak digunakan oleh bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan antara Asia dan Australia. Dari mata lembing itulah kelak timbul jenis senjata pendek atau senjata tikam, yang kemudian dikenal dengan nama keris. Alasan lainnya, lembing atau tombak yang tangkainya panjang, tidak mudah dibawa kemana-mana. Sukar dibawa menyusup masuk hutan. Karena pada waktu itu tidak mudah orang mendapatkan bahan besi, maka mata tombak dilepas dari tangkainya sehingga menjadi senjata genggam.

Lain lagi pendapat A.J. BARNET KEMPERS. Pada tahun 1954 ahli purbakala itu menduga bentuk prototipe keris merupakan perkembangan bentuk dari senjata penusuk pada zaman perunggu. Keris yang hulunya berbentuk patung kecil yang menggambarkan manusia dan menyatu dengan bilahnya, oleh Barnet Kempers bukan dianggap sebagai barang yang luar biasa.

Katanya, senjata tikam dari kebudayaan perunggu Dong-son juga berbentuk mirip itu. Hulunya merupakan patung kecil yang menggambarkan manusia sedang berdiri sambil berkacak pinggang (malang-kerik, bahasa Jawa). Sedangkan senjata tikam kuno yang pernah ditemukan di Kalimantan, pada bagian hulunya juga distilir dari bentuk orang berkacak pinggang.

Perkembangan bentuk dasar senjata tikam itu dapat dibandingkan dengan perkembangan bentuk senjata di Eropa. Di benua itu, dulu, pedang juga distilir dari bentuk menusia dengan kedua tangan terentang lurus ke samping. Bentuk hulu pedang itu, setelah menyebarnya agama Kristen, kemudian dikembangkan menjadi bentuk yang serupa salib.

Dalam kaitannya dengan bentuk keris di Indonesia, hulu keris yang berbentuk manusia (yang distilir), ada yang berdiri, ada yang membungkuk, dan ada pula yang berjongkok, Bentuk ini serupa dengan patung megalitik yang ditemukan di Playen, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dalam perkembangan kemudian, bentuk-bentuk itu makin distilir lagi dan kini menjadi bentuk hulu keris (Di Pulau Jawa disebut deder, jejeran, atau ukiran) dengan ragam hias cecek, patra gandul, patra ageng, umpak-umpak, dlsb.

Dalam sejarah budaya kita, patung atau arca orang berdiri dengan agak membungkuk, oleh sebagian ahli, diartikan sebagai lambang orang mati. Sedangkan patung yang menggambarkan manusia dengan sikap sedang jongkok dengan kaki ditekuk, dianggap melambangkan kelahiran, persalinan, kesuburan, atau kehidupan. Sama dengan sikap bayi atau janin dalam kandungan ibunya.

Ada sebgian ahli bangsa Barat yang tidak yakin bahwa keris sudah dibuat di Indonesia sebelum abad ke-14 atau 15. Mereka mendasarkan teorinya pada kenyataan bahwa tidak ada gambar yang jelas pada relief candi-candi yang dibangun sebelum abad ke-10. SIR THOMAS STAMFORD RAFFLES dalam bukunya History of Java (1817) mengatakan, tidak kurang dari 30 jenis senjata yang dimiliki dan digunakan prajurit Jawa waktu itu, termasuk juga senjata api. Tetapi dari aneka ragam senjata itu, keris menempati kedudukan yang istimewa.

Disebutkan dalam bukunya itu, prajurit Jawa pada umumnya menyandang tiga buah keris sekaligus. Keris yang dikenakan di pinggang sebelah kiri, berasal dari pemberian mertua waktu pernikahan (dalam budaya Jawa disebut kancing gelung). Keris yang dikenakan di pinggang kanan, berasal dari pemberian orang tuanya sendiri. Selain itu berbagai tata cara dan etika dalam dunia perkerisan juga termuat dalam buku Raffles itu. Sayangnya dalam buku yang terkenal itu, penguasa Inggris itu tidak menyebut-nyebut tentang sejarah dan asal usul budaya keris.

Sementara itu istilah ‘keris’ sudah dijumpai pada beberapa prasasti kuno. Lempengan perunggu bertulis yang ditemukan di Karangtengah, berangka tahun 748 Saka, atau 842 Masehi, menyebut-nyebut beberapa jenis sesaji untuk menetapkan Poh sebagai daerah bebas pajak, sesaji itu antara lain berupa ‘kres’, wangkiul, tewek punukan, wesi penghatap.

Kres
yang dimaksudkan pada kedua prasasti itu adalah keris. Sedangkan wangkiul adalah sejenis tombak, tewek punukan adalah senjata bermata dua, semacam dwisula.

Pada lukisan gambar timbul (relief) Candi Borobudur, Jawa Tengah, di sudut bawah bagian tenggara, tergambar beberapa orang prajurit membawa senjata tajam yang serupa dengan keris yang kita kenal sekarang. Di Candi Prambanan, Jawa Tengah, juga tergambar pada reliefnya, raksasa membawa senjata tikam yang serupa benar dengan keris. Di Candi Sewu, dekat Candi Prambanan, juga ada. Arca raksasa penjaga, menyelipkan sebilah senjata tajam, mirip keris.

Sementara itu edisi pertama dan kedua yang disusun oleh Prof. P.A VAN DER LITH menyebutkan, sewaktu stupa induk Candi Borobudur, yang dibangun tahun 875 Masehi, itu dibongkar, ditemukan sebilah keris tua. Keris itu menyatu antara bilah dan hulunya. Tetapi bentuk keris itu tidak serupa dengan bentuk keris yang tergambar pada relief candi. Keris temuan ini kini tersimpan di Museum Ethnografi, Leiden, Belanda. Keterangan mengenai keris temuan itu ditulis oleh Dr. H.H. JUYNBOHL dalam Katalog Kerajaan (Belanda) jilid V, Tahun 1909. Di katalog itu dikatakan, keris itu tergolong ‘keris Majapahit‘, hulunya berbentuk patung orang, bilahnya sangat tua. Salah satu sisi bilah telah rusak. Keris, yang diberi nomor seri 1834, itu adalah pemberian G.J. HEYLIGERS, sekretaris kantor Residen Kedu, pada bulan Oktober 1845. Yang menjadi residennya pada waktu itu adalah Hartman. Ukuran panjang bilah keris temuan itu 28.3 cm, panjang hulunya 20,2 cm, dan lebarnya 4,8 cm. Bentuknya lurus, tidak memakai luk.

Mengenai keris ini, banyak yang menyangsikan apakah sejak awalnya memang telah diletakkan di tengah lubang stupa induk Candi Borobudur. Barnet Kempres sendiri menduga keris itu diletakkan oleh seseorang pada masa-masa kemudian, jauh hari setelah Candi Borobudur selesai dibangun. Jadi bukan pada waktu pembangunannya.

Ada pula yang menduga, budaya keris sudah berkembang sejak menjelang tahun 1.000 Masehi. Pendapat ini didasarkan atas laporan seeorang musafir Cina pada tahun 922 Masehi. Jadi laporan itu dibuat kira-kira zaman Kahuripan berkembang di tepian Kali Brantas, Jawa Timur. Menurut laporan itu, ada seseorang Maharaja Jawa menghadiahkan kepada Kaisar Tiongkok "a short swords with hilts of rhinoceros horn or gold (pedang pendek dengan hulu terbuat dari dari cula badak atau emas). Bisa jadi pedang pendek yang dimaksuddalam laporan itu adalah protoptipe keris seperti yang tergambar pada relief Candi Borobudur dan Prambanan.

Sebilah keris yang ditandai dengan angka tahun pada bilahnya, dimiliki oleh seorang Belanda bernama Knaud di Batavia (pada zaman Belanda dulu). Pada bilah keris itu selain terdapat gamabar timbul wayang, juga berangka tahun Saka 1264, atau 1324 Masehi. Jadi kira-kira sezaman dengan saat pembangunan Candi Penataran di dekat kota Blitar, Jawa Timur. Pada candi ini memang terdapat patung raksasa Kala yang menyandang keris pendek lurus.

Gambar yang jelas mengenai keris dijumpai pada sebuah patung siwa yang berasal dari zaman Kerajaan Singasari, pada abad ke-14. Digambarkan dengan Dewa Siwa sedang memegang keris panjang di tangan kanannya. Jelasini bukan tiruan patung Dewa Siwa dari India, karena di India tak pernah ditemui adanya patung Siwa memegang keris. Patung itu kini tersimpan di Museum Leiden, Belanda.

Pada zaman-zaman berikutnya, makin banyak candi yang dibangun di Jawa Timur, yang memiliki gambaran keris pada dinding reliefnya. Misalnya pada Candi Jago atau Candi Jajagu, yang dibangun tahun 1268 Masehi. Di candi itu terdapat relief yang menggambarkan Pandawa (tokoh wayang) sedang bermain dadu. Punakawan yang terlukis di belakangnya digambarkan sedang membawa keris. Begitu pula pada candi yang terdapat di Tegalwangi, Pare, dekat Kediri, dan Candi Panataran. Pada kedua candi itu tergambar relief tokoh-tokoh yang memegang keris.

Cerita mengenai keris yang lebih jelas dapat dibaca dari laporan seorang musafir Cina bernama Ma Huan. Dalam laporannya Yingyai Sheng-lan di tahun 1416 Masehi ia menuliskan pengalamannya sewaktu mengunjungi Kerajaan Majapahit.

Ketika itu ia datang bersama rombongan Laksamana Cheng-ho atas perintah Kaisar Yen Tsung dari dinasti Ming. Di Majapahit, Ma Huan menyaksikan bahwa hampir semua lelaki di negeri itu memakai pulak, sejak masih kanak-kanak, bahkan sejak berumur tiga tahun. Yang disebut pulak oleh Ma Huan adalah semacam belati lurus atau berkelok-kelok. Jelas ayang dimaksud adalah keris.

Kata Ma Huan dalam laoparan itu: These daggers have very thin stripes and within flowers and made of very best steel; the handle is of gold, rhinoceros, or ivory, cut into the shapeof human or devil faces and finished carefully.

Laporan ini membuktikan bahwa pada zaman itu telah dikenal teknik pembuatan senjata tikam dengan hiasan pamor dengan gambaran garis-garis amat tipis serta bunga-bunga keputihan. Senjata ini dibuat dengan baja berkualitas prima. Pegangannya, atau hulunya, terbuat dari emas, cula badak, atau gading.

Tak pelak lagi, tentunya yang dimaksudkan Ma Huan dalam laporannya adalah keris yang kita kenal sekarang ini.

Dapat disaksikan di Candi Sukuh, di lereng Gunung Lawu, di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada candra sengkala memet di candi itu, terbaca angka tahun 1316 Saka atau 1439 Masehi. dapat diketahui cara pembuatan keris saat itu.

Cara pembuatan keris yang digambarkan di candi itu tidak jauh berbeda dengan cara pembuatan keris keris pada zaman sekarang. Baik peralatan kerja, palu dan ububan, maupun hasil karyanya berupa keris, tombak, kudi, dll.

Teori Itu Tak Selalu Benar


Bagi sebagian besar pecinta keris dan tosan aji di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli Barat itu banyak sekali mengandung kelemahan, dan terkadang bahkan tidak logis.

Satu hal yang tidak ‘tertangkap’ dalam alam pikir para ahli Barat, adalah bahwa keris dibuat orang (para empu) sama sekali bukan dengan maksud untuk digunakan sebagai alat pembunuh. Banyak buku yang ditulis orang Barat menyebut keris sebagai salah satu senjata tikam atau stabbing weapons. Buku-buku Barat pada umumnya memberi kesan bahwa keris serupa atau sama saja dengan belati atau ponyard (poignard).

Padahal ada perbedaan sangat besar dan mendasar di antara mereka. Belati, sangkur, atau poyard memang sengaja dibuat untuk menusuk lawan, melukai atau membunuhnya, sedangkan keris tidak. Keris dibuat terutama untuk digunakan sebagai pusaka atau sipat kandel, yang dipercaya dapat melindungi serta memberi keselamatan dan kesejahteraan pemiliknya.

Kekeliruan lain yang terasa agak menyakitkan hati, adalah penyebutan keris-keris sajen sebagai keris Majapahit oleh sebagian buku yang ditulis oleh orang Barat. Bagi orang Indonesia, terutama suku bangsa Jawa, keris Majapahit adalah salah satu produk budaya yang indah dan relatif sempurna -- yang sama sekali tidak dapat disamakan dengan keris sajen yang dibuat amat sangat sederhana.

Dari uraian ringkas di atas, cukup beralasan bagi kita kalau memperkirakan bahwa keris sudah mulai dibuat di Indonesia, Di Pulau Jawa, pada abad ke-5 atau 6. Tentu saja dalam bentuk yang masih sederhana.

Keris mencapai bentuknya seperti yang kita kenal sekarang, diperkirakan baru pada sekitar abad ke-12 atau 13. Budaya keris mencapai puncaknya pada zaman Kerajaan Majapahit, seperti yang telah dilaporkan oleh Ma Huan. Pada kala itulah budaya keris menyebar sampai ke Palembang, Riau, Semenanjung Malaya, Brunei Darussalam, Filipina Selatan, Kamboja atau Champa, bahkan sampai ke Surathani dan Pathani di Thailand bagian selatan.

Budaya keris terkadang disalah mengertikan oleh sebagian peneliti Barat, sehingga hasil tulisan mereka terkadang tidak sesuai dengan alam budaya bangsa Indonesia.
Kontribusi SUWARSONO LUMINTU, disunting Bambang Harsrinuksmo.


Mungkin anda sudah pernah mendengar tentang keris Mpu Gandring, tapi bukan keris ini yang saya maksud. Keris yang dibuat seorang empu dari desa Lulumbang ( Sekarang Wlingi-Blitar) itu ternyata masih punya pesaing yang diyakini punya tuah sakti lebih dahsyat dan kharismatik. Lalu keris apa ?

Sebelum keris ini diciptakan, Keris Empu Gandring memang cukup populer dan fenomenal karena mengiringi kesejarahan berdirinya Singosari dan berlanjut ke Majapahit. Namun tidak ada salahnya saya membagi tulisan ini dalam point-point singkat dibawah ini :

Apa itu Keris
Keris adalah sebilah besi tipis, bersisi tajam di kanan kiri, dengan ujung runcing yang bisa digolongkan sebagai senjata tikam jenis belati. Ada kalanya empu (sebutan untuk pembuat keris) membuat variasi tersendiri terhadap model keris. Namun yang paling umum adalah keris yang berbentuk lurus dan ada pula yang berkelok-kelok.

Pada masa lalu, keris memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut :
  • sebagai senjata dalam duel maupun peperangan
  • sebagai pelengkap ritual (sesaji). 
  • Sebagai sumber kekuatan batin dan spiritual
  • Sebagai symbol pemerintahan (pusaka)  yang diluhurkan
Fungsi keris pada masa kini adalah
  • Sebagai karya seni, koleksi dan konservasi kebudayaan (tahun 2005 telah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia)
  • Sebagai penambah sugesti spiritual
Istilah penyebutan Keris sendiri di temukan dari  Prasasti Karang Tengah yang menggunakan angka tahun 824 Masehi. Senada dengan prasasti, di Candi Borobudur juga terdapat penggambaran sebuah benda mirip keris pada salah satu relief.  Hal ini mengidentifikasikan bahwa keris memang sudah menjadi bagian dari masyarakat kala itu, mengingat Prasasti Karang Tengah dan Candi Borobudur sama-sama dibuat ditahun 800-an.

Keris terus mengalami transformasi bentuk dan modifikasi, mulai dari wujud polos mirip belati hingga menjadi seperti yang kita ketahui sekarang.  Namun bisa dikatakan budaya perkerisan mencapai perkembangan yang cukup signifikan di era awal Singasari hingga Majapahit.

Oke, sebelum saya menulis kisah keris paling sakti yang saya maksud, terlebih dahulu saya akan menulis tentang Keris Empu Gandring sebagai pengantar

Keris Empu Gandring
Adalah sebuah keris yang digarap pengerjaannya oleh seorang Empu (pakar) terkemuka bernama Gandring.  Empu Gandring banyak memproduksi karya-karyanya di desa Lulumbang yang diperkirakan sekarang letaknya di sekitar Wlingi – Blitar. Sampai sekarang daerah tersebut masih ditemukan jejak-jejak para  pande besi maupun empu keris ( Salah satu yang cukup ternama  adalah Almarhum Bapak Sumodadi ).

Keberadaan keris Empu Gandring saat ini memang masih misterius walaupun kesejarahannya tercatat dalam Serat Pararaton ( KItab Raja-Raja). Keris ini dianggap pemicu bencana turun temurun dalam suksesi kepemimpinan Singasari. Kutukan sang empu yang terbunuh oleh keris buatannya sendiri ini , dikisahkan terus menyertai Singasari bahkan sampai runtuhnya kerajaan berhaluan Tantrayana  tersebut. Dari  ujaran beberapa spiritualis yang pernah saya dengar, keris Empu Gandring dibuat dari bahan baku batu meteor sehingga elemennya sangat keras.  Bahkan lumpang batu milik Empu Gandringpun hancur berkeping-keping ketika keris tersebut di uji coba  oleh Ken Arok. 

Empu Gandring sesungguhnya berniat membuat karya yang paling  master piece sehingga  rencana produksi diperkirakan memakan waktu 7 bulan.  Selama itu pula Empu Gandring mengerahkan seluruh energi raga maupun spiritual guna menyempurnakan karya terbaiknya.  Namun belum genap waktu yang ditentukan, Ken Arok selaku pengorder , telah meminta keris tersebut . Akibat belum selesainya seluruh proses, berbagai tuah buruk yang terdapat dalam keris belum berhasil ditaklukkan , bahkan Empu Gandring menambahinya dengan  7 setan dendam yang akan langsung bekerja saat dirinya tewas. 

Lenyapnya Keris dan Kematian Tohjaya
Di riwayatkan kemudian berturut-turut 7 orang  tewas oleh keris tersebut, salah satunya adalah Ken Arok sendiri.  Keris Empu Gandring diperkirakan lenyap dalam perlarian Apanji Tohjaya, Raja Singasari yang hanya memerintah satu tahun ( 1249 - 1250). Kala itu dua keponakannya, Ranggawuni dan Mahesa Cempaka melakukan pemberontakan besar-besaran sehingga membuat Tohjaya terluka oleh tombak dan lari ke desa Katang Lumbang ( sekarang di sekitar Pasuruan). Sebelum mengungsi, Tohjaya sempat memerintahkan pengawalnya untuk membawa kabur keris Empu Gandring bersamanya.  Celakanya, dalam pelariannya yang luka parah, sesuatu hal yang tidak mengenakkan dialami Tohjaya. Si pengawal  pembawa keris sekaligus pemikul tandu bagian depan, melorot celananya sehingga nampaklah bagian belahan pantat. Bagi Tohjaya ini pertanda buruk, sebuah arti bahwa dia tidak akan pernah jadi Raja. Maka, meski dalam keadaan luka, Tohjaya turun dari tandu lalu menombak sang pengawal. Si pengawal secara refleks menghindar sekaligus menyerang balik dengan keris Empu Gandring yang sedang dibawanya. Dada Tohjaya jebol.

Pupuh Serat Pararaton yang saya temukan, meski tidak lengkap, menuliskan cuplikan kemarahan Tohjaya karena  ketidak sengajaan pengawalnya tersebut :

Yogha kagyat sira Panji Tohjaya, malajeng kapisah, tinumbak tan kapisanan, marin ing geger, rinuruh den ing kawulan ira. Pinikul pinalayoken mareng Katang Lumbang. Kang amikul kasingse gadage, katon pamungkure.  Ling ira Panji Tohjaya ring kang amikul: ‘Beciki gadagta katon pamungkure.’ Sangkan ing tan awet ratu dene silit iku.

Terjemahan bebasnya kira-kira dibawah ini :

Panji Tohjaya sangat terperanjat, lari terpisah, namun dia tertombak meski cuma sekali. Setelah keadaan kondusif, para pengawal (kawulan) mencari dan memikulnya ke Katang Lumbang. Saat memikul seorang pengusung tandu terlepas celananya sehingga tampaklah bagian bokong.
Panji Tohjaya membentak “Rapikan celanamu, pantatmu kelihatan. Aku tidak akan awet jadi Raja gara-gara pantat itu !" 

Tohjaya dimakamkan dalam suasana sederhana dan sepi, bahkan dimungkinkan jenasahnya di tinggalkan begitu saja di Katang Lumbang oleh pengawalnya yang tersisa. Keris Empu Gandring sendiri nampaknya juga di buang di TKP sehingga sulit melacaknya lagi.

Keris Empu Gandring menjadi sangat populer di telinga banyak orang karena membayangi kehidupan raja-raja Singasari. Namun keris yang satu ini rasanya tak kalah spektakuler, bahkan bisa jadi 100 kali lebih hebat ketimbang keris Empu Gandring.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar